Oleh : Ahmad Munjin
INILAH.COM, Jakarta - Konsep nasionalisme ekonomi ala Gita Wirjawan
yang menafikan kepemilikan asing sangat berbahaya. Sektor-sektor
strategis seharusnya bebas dari cengkraman asing. Kalau asing
menguasai, buat apa ada negara?
Secara garis besar, nasionalisme ekonomi ala Gita Wirjawan, yang saat ini menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tak mempersoalkan kepemilikan modal. Mau asing atau domestik tak masalah sepanjang memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia.
Gita yang menulis artikel opini di harian Kompas itu mengkritik ide nasionalisme ekonomi yang mendasarkan pada pembatasan kepemilikan asing di dalam negeri. Contohnya kebijakan yang memproteksi sama sekali modal asing tidak boleh masuk bisnis tertentu. Atau, kebijakan yang membatasi modal asing, seperti tidak boleh lebih 50% atau boleh lebih dari 50% asal tetap ada modal nasional dan seterusnya.
Pengamat ekonomi David Sumual mengingatkan negara-negara lain mengelola aset-aset strategis mereka dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada asing. Sebab, dalam keadaan perang, seperti power plan jika dikuasai operator asing bisa disabotase dengan pemutusan aliran listrik.
Menurutnya, yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti makanan dan telekomunikasi harus dikuasai negara.
"Untuk sektor-sektor tertentu harus dipegang oleh negara. Ada beberapa sektor yang menjadi industri strategis harus dikuasai negara," katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Minggu (17/10).
Memang, menurut David, ada yang berpendapat bahwa hanya sektor pertahanan saja yang dikuasai negara dan selebihnya dikuasai asing. "Tapi, bahkan negara maju pun seperti AS, sangat melindungi aset-aset strategis mereka seperti pelabuhan, baja, dan lain-lain," timpalnya.
David menyebutkan ada satu perusahaan China yang ingin mengakuisisi pelabuhan di AS tetapi tidak diizinkan oleh parlemen negara adidaya itu. Begitu juga dengan perusahaan minyak di AS. "Di Indonesia, baja tidak menjadi sektor strategis sehingga jika terjadi perselisihan di masa mendatang atau bahkan perang dengan asing, RI bisa dirugikan," ungkapnya.
Tapi, imbuhnya, di luar sektor strategis seperti industri manufaktur bisa dikuasai sektor swasta agar lebih efisien. "Tapi, industri strategis seperti PT PAL Indonesia, PT Pindad, telekomunikasi (seperti Indosat tidak perlu diprivatisasi), dan Industri pangan seharusnya dikuasai negara," paparnya.
Jika semua sektor strategis diserahkan kepada asing, lanjut David, termasuk industri pertahanan, keberadaan negara jadi tidak berguna. "Indonesia bubarkan saja. Percuma RI merdeka 65 tahun," tukasnya.
Sebab, proklamasi RI bertujuan agar RI memiliki kedaulatan untuk bisa mengelola sendiri semua kekayaan yang dimiliki. "Tujuannya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran negara lain," imbuhnya merujuk pada amanat Undang Undang Dasar 1945.
Lebih jauh David mengatakan Malaysia dan Singapura sangat melindungi aset strategis yang menyangkut masyarakat banyak. Kedua negara tetangga itu membuat semacam holding BUMN dan Sovereign Wealth Fund. Tujuannya untuk membangun kesejahteraan rakyat. "Industri starategis benar-benar dibangun," tuturnya.
Karena itu, ada kebijakan yang terintegrasi di sektor BUMN mereka. RI pun seharusnya memiliki blueprint mana industri yang startegis dan mana industri yang bisa diprivatisasi.
David mengutip Soekarno, jika Sumber Daya Alam (SDA) RI belum bisa dikelola karena keterbatasan modal, jangan dulu diganggu. Biarkan saja bertahan di dalam perut bumi sehingga harganya semakin meningkat. "Jika sekarang dikelola dan 90% dinikmati asing dan hanya 10% untuk rakyat, itu percuma. Jadi, ini bukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tambahnya.
Sri Adiningsih, ekonomi Universitas Gadjah Mada mengatakan Indonesia harus memiliki posisi yang tegas dan jelas dalam pembukaan pasar bebas seiring liberalisasi. Menurutnya, keberanian RI membuka pasar harus sejalan dengan kemampuan dalam bersaing dan bertempur.
"Saat ini, sektor industri pertumbuhannya rendah, sehingga memicu RI jadi eksportir tenaga kerja ilegal dan tumbuhnya lapangan kerja informal," ujarnya.
Pada saat yang sama, produk impor dari China semakin menguasai pasar hingga ke desa-desa di Tanah Air. Menurutnya, industri dalam negeri semakin tidak bisa bersaing. "Itu sudah cukup untuk menunjukkan rendahnya kualitas pembanguanan ekonomi RI," imbuhnya.
Karena itu, pemerintah, harus punya prioritas pembangunan ekonomi. Tentukan mana sektor strategis dan mana yang tidak. Jangan asal mengalir dan tumbuh tapi dengan kualitas yang rendah.
Pemerintah harus membuat prioritas yang jelas dan merevitalisasi sektor industri. Ini harus disupport habis-habisan. "Industri yang berbasis sumber daya alam harus didukung infrastruktur yang diperlukan, regulasi, ataupun support dalam bentuk kemudahan-kemudahan subsidi dan sebagainya," pungkas Sri Adiningsih
Secara garis besar, nasionalisme ekonomi ala Gita Wirjawan, yang saat ini menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tak mempersoalkan kepemilikan modal. Mau asing atau domestik tak masalah sepanjang memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia.
Gita yang menulis artikel opini di harian Kompas itu mengkritik ide nasionalisme ekonomi yang mendasarkan pada pembatasan kepemilikan asing di dalam negeri. Contohnya kebijakan yang memproteksi sama sekali modal asing tidak boleh masuk bisnis tertentu. Atau, kebijakan yang membatasi modal asing, seperti tidak boleh lebih 50% atau boleh lebih dari 50% asal tetap ada modal nasional dan seterusnya.
Pengamat ekonomi David Sumual mengingatkan negara-negara lain mengelola aset-aset strategis mereka dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada asing. Sebab, dalam keadaan perang, seperti power plan jika dikuasai operator asing bisa disabotase dengan pemutusan aliran listrik.
Menurutnya, yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti makanan dan telekomunikasi harus dikuasai negara.
"Untuk sektor-sektor tertentu harus dipegang oleh negara. Ada beberapa sektor yang menjadi industri strategis harus dikuasai negara," katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Minggu (17/10).
Memang, menurut David, ada yang berpendapat bahwa hanya sektor pertahanan saja yang dikuasai negara dan selebihnya dikuasai asing. "Tapi, bahkan negara maju pun seperti AS, sangat melindungi aset-aset strategis mereka seperti pelabuhan, baja, dan lain-lain," timpalnya.
David menyebutkan ada satu perusahaan China yang ingin mengakuisisi pelabuhan di AS tetapi tidak diizinkan oleh parlemen negara adidaya itu. Begitu juga dengan perusahaan minyak di AS. "Di Indonesia, baja tidak menjadi sektor strategis sehingga jika terjadi perselisihan di masa mendatang atau bahkan perang dengan asing, RI bisa dirugikan," ungkapnya.
Tapi, imbuhnya, di luar sektor strategis seperti industri manufaktur bisa dikuasai sektor swasta agar lebih efisien. "Tapi, industri strategis seperti PT PAL Indonesia, PT Pindad, telekomunikasi (seperti Indosat tidak perlu diprivatisasi), dan Industri pangan seharusnya dikuasai negara," paparnya.
Jika semua sektor strategis diserahkan kepada asing, lanjut David, termasuk industri pertahanan, keberadaan negara jadi tidak berguna. "Indonesia bubarkan saja. Percuma RI merdeka 65 tahun," tukasnya.
Sebab, proklamasi RI bertujuan agar RI memiliki kedaulatan untuk bisa mengelola sendiri semua kekayaan yang dimiliki. "Tujuannya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran negara lain," imbuhnya merujuk pada amanat Undang Undang Dasar 1945.
Lebih jauh David mengatakan Malaysia dan Singapura sangat melindungi aset strategis yang menyangkut masyarakat banyak. Kedua negara tetangga itu membuat semacam holding BUMN dan Sovereign Wealth Fund. Tujuannya untuk membangun kesejahteraan rakyat. "Industri starategis benar-benar dibangun," tuturnya.
Karena itu, ada kebijakan yang terintegrasi di sektor BUMN mereka. RI pun seharusnya memiliki blueprint mana industri yang startegis dan mana industri yang bisa diprivatisasi.
David mengutip Soekarno, jika Sumber Daya Alam (SDA) RI belum bisa dikelola karena keterbatasan modal, jangan dulu diganggu. Biarkan saja bertahan di dalam perut bumi sehingga harganya semakin meningkat. "Jika sekarang dikelola dan 90% dinikmati asing dan hanya 10% untuk rakyat, itu percuma. Jadi, ini bukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tambahnya.
Sri Adiningsih, ekonomi Universitas Gadjah Mada mengatakan Indonesia harus memiliki posisi yang tegas dan jelas dalam pembukaan pasar bebas seiring liberalisasi. Menurutnya, keberanian RI membuka pasar harus sejalan dengan kemampuan dalam bersaing dan bertempur.
"Saat ini, sektor industri pertumbuhannya rendah, sehingga memicu RI jadi eksportir tenaga kerja ilegal dan tumbuhnya lapangan kerja informal," ujarnya.
Pada saat yang sama, produk impor dari China semakin menguasai pasar hingga ke desa-desa di Tanah Air. Menurutnya, industri dalam negeri semakin tidak bisa bersaing. "Itu sudah cukup untuk menunjukkan rendahnya kualitas pembanguanan ekonomi RI," imbuhnya.
Karena itu, pemerintah, harus punya prioritas pembangunan ekonomi. Tentukan mana sektor strategis dan mana yang tidak. Jangan asal mengalir dan tumbuh tapi dengan kualitas yang rendah.
Pemerintah harus membuat prioritas yang jelas dan merevitalisasi sektor industri. Ini harus disupport habis-habisan. "Industri yang berbasis sumber daya alam harus didukung infrastruktur yang diperlukan, regulasi, ataupun support dalam bentuk kemudahan-kemudahan subsidi dan sebagainya," pungkas Sri Adiningsih
Sumber: http://ekonomi.inilah.com/read/detail/896872/asing-leluasa-buat-apa-ada-negara