Bung
Karno pada masa kekuasaannya sangat dekat dengan Cina. Pada masa itu
Cina dipimpin oleh Mao Zedong atau Mao Tse Tung, salah seorang pemimpin
Cina yang masih diagungkan oleh rakyatnya hingga sekarang. Bung Karno
dan Mao merupakan pemimpin yang seide. Namun Bung Karno menolak
dituding komunis. Bung Karno dalam buku yang ditulis Cindy Adams pernah
menyatakan, “Aku akan memuji apa yang baik, tak pandang sesuatu itu
datangnya dari seorang komunis, Islam, atau seorang Hopi Indian. Akan
tetapi, betapa pun, pandangan dunia luar, maka terhadap persoalan
apakah aku akan menjadi komunis atau tidak, jawabnya ialah: TIDAK!”.
Pernyataan itu muncul karena pujian Bung Karno pada Mao di setiap
kesempatan.
Bung Karno memuji Mao sebagai pemimpin yang cerdik.
Gara-garanya, Mao pernah memerintahkan rakyatnya yang berjumlah 600
juta jiwa kala itu untuk memukul tong-tong dari bambu, mengoyak-oyak
pepohonan, berteriak-teriak atau berbuat sesuatu untuk menghalau
burung pipit secara serentak. Hal ini dilakukan Mao karena panen padi,
jagung, dan gandum yang ditanam para petani bakal terancam gagal panen
akibat serbuan jutaan burung pipit yang hidup liar di seantero negeri
Tirai Bambu itu.
Sebelum tragedi hama itu datang, Mao telah
mengambil tindakan untuk menuntaskan hama burung pipit di negerinya.
Seperti diketahui, burung pipit hanya bisa bertahan terbang di udara
sampai empat jam. Jika burung pipit itu tak diberi kesempatan hinggap
maka burung itu akan mati kelemasan. Suara-suara kegaduhan yang
ditimbulkan oleh beragam suara akan membuat burung pipit takut hinggap.
Itulah
yang hendak dituju Mao, menimbulkan kegaduhan suara di seantero negeri
biar burung pipit tak bisa hinggap di manapun. Strategi Mao yang jitu
itu berhasil, jutaan burung pipit berjatuhan, lemas menggelepar di
tanah. Jutaan rakyat Cina pun menangkap, memungut, menggoreng, dan
memakannya. Bung Karno begitu mengagumi cerita itu hingga ia selalu
menyitir cerita tersebut di setiap kesempatan dan dibanyak negara.
Kalau
dilihat dari kemajuan Cina sekarang, pertemanan Bung Karno dan Mao
Zedong tentu ada maksudnya. Bung Karno sangat menyadari potensi yang
dimilki Cina. Dan Bung Karno melihat itu. Apabila Cina dan Indonesia
memiliki kerjasama yang kuat tentu akan berpengaruh pada kemajuan
ekonomi kedua negara. Bung Karno ingin belajar dari kemandirian Cina
yang tak terpengaruh oleh sistem perekonomian Barat (yang kapitalis dan
anti komunis).
Seperti
kata pepatah, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Pepatah ini
mengandung makna yang mendalam kalau dikaji lebih lanjut. Bung Karno
(sekali lagi) sangat menyadari makna itu. Sayangnya, visi Bung Karno
itu tak diantisipasi oleh penerusnya. Bung Karno terlanjur dituding pro
komunis meski dia menegaskan bukan komunis. Belajar tentang sesuatu
hal tak berarti kita menjadi sesuatu hal itu. Kalau dianalogikan
menjadi seperti ini: “Belajar tentang komunis tak berarti kita menjadi
komunis” atau “Berteman dengan komunis tak berarti kita komunis”, atau
bisa juga menjadi analogi ini “Berteman dengan Kristen tak berarti kita
jadi Kristen”, atau “Berteman dengan Islam tak berarti kita menjadi
Islam”. Jadi, belajar dari orang tak sepaham itu perlu, apalagi kalau
dia memiliki pengetahuan yang lebih dibanding kita.
Sumber :http://menujuhijau.blogspot.com/2010/10/persahabatan-bung-karno-dan-mao-zedong.html