Barangkali ini adalah harga dari sebuah kekuasaan yang angkuh. Di
Tunisia, Presiden Zine El Abidine Ben Ali, turun dari kursi kekuasaan
dengan cara memalukan. Dia kabur ke luar negeri, karena tak mampu
membendung kemarahan rakyat.
Meski
telah berkuasa 23 tahun di negeri Afrika utara itu, Ben Ali harus
lengser akibat dia tak mendengar keluhan seorang tukang sayur.
Adalah
Mohamed Bouazizi, seorang tukang sayur, yang memicu kemarahan rakyat
atas sang penguasa. Dia masih muda, usianya 26 tahun. Lelaki itu nekad
membakar diri, setelah barang dagangannya disita polisi di kota Sidi
Bouzid pada 17 Desember 2010. Berhari-hari dirawat di rumah sakit,
Bouazizi akhirnya meninggal pada 4 Januari 2011.
Bouazizi adalah
wajah rakyat Tunisia yang menderita. Negeri itu dilanda krisis
pangan. Lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam politik yang tak
peduli pada kritik.
Tak banyak pilihan bagi pemuda seperti
Bouazizi. Lelaki itu adalah tiang keluarga, dan dia harus menghidupi
ibu dan adiknya. Itu sebabnya, Bouazizi bekerja apa saja, termasuk
menjadi penjual sayur dan buah.
Tak jelas benar latar
pendidikannya. Stasiun berita CNN menyebut pemuda itu sebagai sarjana
komputer. Lulus kuliah, Bouazizi sulit mendapatkan pekerjaan seperti
sarjana lainnya di Tunisia. Itu membuat Bouazizi terpaksa mengasong,
menjual sayur dan buah.
Tapi, adiknya Samia Bouazizi memberi versi berbeda, seperti dilaporkan oleh laman Gulf News.
“Kakakku berusia 26 tahun, dan tak lulus sekolah menengah atas. Jadi
dia berjualan buah dan sayur untuk menghidupi dirinya, dan keluarga,”
ujar Samia.
Pada 17 Desember 2010, adalah hari sial bagi
Bouazizi. Barang jualannya dirampas polisi. Alasannya, dia berdagang
tanpa izin. Lelaki malang itu lalu mengadu ke kantor gubernur di Sidi
Bouzid. Dia meminta keadilan. Tuntutannya sederhana: dia minta
dagangannya dikembalikan, dan diizinkan berdagang kembali.
Tapi,
teriakan Bouazizi seperti hilang ditiup angin. Tak seorang pejabat di
kantor itu peduli. Bouazizi pun putus harapan. Dia lalu nekad:
mengguyur dirinya dengan minyak, lalu menyulut api. Di depan kantor
gubernur yang angkuh itu pun tubuhnya terbakar.
Meski
tubuhnya dilalap api, jiwa Bouzizi tak melayang. Sebagian badannya
hangus, dan dia menahan pedih berhari-hari di rumah sakit. Tapi akibat
luka bakar yang parah, Bouazizi akhirnya meninggal.
Peristiwa
itu lalu menyentak warga Tunisia. Bouazizi seperti menjadi juru bicara
tragis bagi nasib mereka. Di tengah krisis pangan, pengangguran
membekap Tunisia. Harga kebutuhan pokok, seperti roti, gandum dan
gula, melejit tak terbeli. Rakyat pun murka. Demonstrasi meledak, dan
kemarahan meluas ke sekujur negeri.
Lebih dari sepekan setelah
Bouazizi membakar diri, Presiden Ben Ali membesuk pemuda malang itu.
Dia datang ke rumah sakit pada 28 Desember 2010. Tapi Ben Ali tak
peduli dengan kemarahan rakyat. Dia malah memberi cap teroris, bagi
para demonstran yang onar.
Ben
Ali bahkan mengerahkan aparat keamanan meredam aksi massa. Korban pun
berjatuhan. Kebencian pada Ben Ali dan rezimnya makin menggila. Ben
Ali kaget, tapi dia yang dulu berkuasa lewat kudeta tak berdarah pada
1987, terlambat. Kemarahan rakyat tak lagi terbendung.
“Saya
sadar dengan tuntutan rakyat Tunisia. Saya juga sedih dengan apa yang
tengah terjadi setelah 50 tahun mengabdi bagi bangsa ini, baik dalam
dinas militer, berbagai posisi di pemerintahan, dan menjadi presiden
selama 23 tahun,” kata Ben Ali, seperti dikutip stasiun televisi Al Jazeera, Kamis malam, 13 Januari 2011 waktu
Rakyat
Tunisia lalu tumpah ke jalan. Mereka menuntut Ben Ali turun.
Akhirnya, pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya rakyat
itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya.
Tunisia kini dibiarkannya terombang-ambing. Tak ada pemerintahan transisi.
Aksi
Bouazizi bahkan menjadi ilham bagi negara tetangga. Selama 15-18
Januari 2011, sudah 10 orang membakar diri sebagai bentuk protes kepada
pemerintah. Mereka berasal dari Mesir, Aljazair dan Mauritania. Dua
orang dilaporkan tewas, sisanya dalam keadaan kritis.
Sumber : Klik DISINI