Pemberian bantuan keuangan partai politik itu diatur UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Dalam dua ketentuan tersebut memang diatur setiap parpol pemenang pemilu menerima dana yang bersumber dari APBN, yang dihitung berdasarkan jumlah kursi anggota DPR dan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu.
Berdasarkan hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap Keppres No 26 Tahun 2010 Tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2011, anggaran setiap tahunnya bantuan anggaran untuk parpol selalu mengalami kenaikan.
Pada tahun anggaran 2011, pemerintah memberikan bantuan keuangan untuk partai politik sebesar Rp 9,9 miliar. Pada tahun anggaran 2012, naik menjadi Rp 10,4 miliar. Terakhir, pada tahun anggaran 2013 naik lagi menjadi Rp 10,9 miliar.
FITRA menuding parpol yang mendapat bantuan anggaran itu tidak transparan. Lembaga Swadaya Masyarakat ini pernah punya pengalaman saat meminta dokumen anggaran 9 partai politik pemenang pemilu, dan semua menolak permintaaan.
Dari 9 parpol yang dimintai informasi keuangan periode 2010 dalam Uji Akses Permintaan Informasi hanya dua parpol yang merespons, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Gerindra.
“Tujuh parpol lainnya hanya diam dan tidak memberikan respons permintaan informasi, meskipun sudah disampaikan keberatan permintaan informasi,” kata tuding Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Uchok Khadafi kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Jumat lalu.
Diungkapkan, karena tidak mendapatkan respons, pihaknya mengajukan penyelesaian sengketa informasi tersebut ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan termohon parpol yang tidak merespons permintaan.
Namun, dari lima kali mediasi dengan parpol yang telah dilaksanakan, hanya satu parpol yang hadir pada mediasi pertama dan bersedia memberikan informasi, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Sementara enam parpol lainnya kembali tidak hadir pada undangan pertama yang disampaikan KIP, sehingga diputuskan untuk melaksanakan mediasi kedua,” bebernya.
Pada mediasi kedua, dua parpol yang hadir, yakni Golkar dan PDI Perjuangan, dan pada akhirnya kedua partai tersebut akhirnya bersepakat untuk menyampaikan informasi yang diminta setelah selesai diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) juga masih tidak hadir sehingga dilaksanakan mediasi ketiga. Pada mediasi yang ketiga pun PAN masih tidak hadir, sehingga akhirnya proses mediasi dengan partai itu gagal. Sedangkan Partai Demokrat masih dalam proses mediasi kedua.
“Dengan demikian, sudah jelas ada kesan parpol tidak mau diawasi publik padahal keuangan mereka diperoleh dari APBN. Padahal penyusunan laporan keuangan mereka sangat amburadul sehingga untuk partai politik di daerah laporan keuangan tidak bisa dipertanggungjawaban,” tuturnya.
Uchok menuding perolehan bantuan anggaran itu buah dari kongkalikong. Hal ini terjadi karena adanya kesepakatan antara eksekutif dengan anggota legislatif.
Uchok mengungkapkan, adanya bantuan kepada parpol ini membuka potensi penyimpangan dalam alokasi anggaran bantuan parpol tidak terhindari.
Dikayakan Uchok, dalam audit BPK tahun 2010, FITRA menemukan 31 daerah telah melakukan penyimpangan anggaran yang diberikan dari APBD untuk bantuan kepada partai politik.
Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut seperti parpol belum memenuhi persyaratan adminstarasi, tetapi bantuan keuangan dari APBD sudah diberikan, dan ada juga bantuan keuangan dari APBD sudah diberikan, tetapi belum ada laporan pertanggungjawabannya dari partai politik tersebut. FITRA menduga akibat masalah ini negara telah dirugikan Rp 21,6 miliar.
“Kalau pengelolaannya tidak jelas FITRA meminta agar dana parpol harus dihapuskan dari alokasi APBN dan APBD. Adanya alokasi anggaran dari APBN dan APBD tidak menjamin bersih dari potensi penyalahgunaan keuangan negara,” tegasnya.
Agar permasalahan ini terus terjadi, pemerintah sebaiknya memberikan perhatian serius. Setiap badan publik harus melakukan pelayanan informasi publik dengan cepat tanpa menunggu proses keberatan, ataupun proses mediasi di suatu lembaga, serta tidak membedakan siapa yang meminta informasi.
“Partai politik sebagai badan publik harus konsisten melaksanakan Undang-Undang KIP agar parpol menjadi lembaga publik yang akuntabel dan transparan dalam pengelolaan anggarannya,” tukasnya.
Petinggi Parpol Rame-rame Bantah Keuangannya Tertutup
Para
petinggi partai politik membantah keras kalau keuangannya tidak
transparan kepada publik. Alasannya, setiap tahunya diaudit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).“Partai Demokrat mengikuti dan mematuhi semua mekanisme, aturan undang-undang yang berlaku tanpa terkecuali. Itu yang selama ini terjadi,” kata Wasekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
Anggota Komisi II DPR ini mendukung tuntutan FITRA agar laporan keuangan parpol harus transparan, dan akuntabel. “Tak ad yang salah dalam tuntutan itu,” ujarnya.
Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah dan Koperasi Dewan Pinpinan Pusat Partai Golkar, Firman Soebagyo membantah partainya tidak transparan dalam hal laporan keuangan. Pemberian informasi dana bantuan parpol itu sudah ada dalam AD/ART partainya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR ini mengungkapkan, dana bantuan partai itu berasal dari beberapa sumber, seperti iuran anggota, sumbangan dari masyarakat yang bersifat tida mengikat, dan dana bantuan dari pemerintah.
Setiap tahunnya laporan keuangan Golkar, termasuk dana bantuan tersebut, diaudit BPK sebagai bentuk pertanggungjawaban partai kepada publik.
“Bahkan pas mau pemilu itu juga diaudit, dan semua hasil audit itu dilaporkan kepada pemerintah. Kalau LSM itu siapa, kami tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kepada mereka. Laporan keuangan itu kan urusan internal partai,” tegasnya.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah III ini menyatakan, dana bantuan dari pemerintah dibutuhkan parpol untuk menjalankan roda organisasi.
Hal itu tidak bisa dihindari mengingat parpol adalah bagian dari sistem politik, yang turut andil menggerakan pemerintahan. Sebab parpol menjadi bagian dari eksekutif, dan legislatif.
“Sebagai perserta pemilu misalnya. Kalau tidak ada dana, bagaimana kita turut andil. Padahal kita tidak diperbolehkan untuk memiliki badan usaha sendiri untuk menggalang dana,” tuturnya.
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Marwan Jafar menuding balik FITRA sebagai LSM yang tidak kredibel, karena dalam pengamatannya selama ini banyak data dari FITRA yang keliru. “Jadi bukan data sungguhan. Data dan analisa mereka seringkali ngawur, hanya untuk cari sensasi di media massa,” ujarnya.
Anggota Badan Musyawarah DPR ini menegaskan, partainya tidak pernah bermaksud mempersulit ataupun melarang permintaan informasi tersebut. Partainya harus berhati-hati dalam memberikan informasi, apalagi yang menyangkut soal dana.
“Tidak ada yang keberatan. Masalahnya kewenangan mereka itu apa? mereka itu siapa? Kita khawatir data-data dari parpol disalahgunakan untuk kepentingan lain,” sesalnya.
Di Jerman, Parpol Dibiayai 100 Persen
Abdul Hakim Naja, Wakil Ketua Komisi II DPR
Wakil
Ketua Komisi II DPR Abdul Hakim Naja menjamin, kalau laporan keuangan
parpol itu transparan. Pasalnya, setiap tahun parpol diwajibkan untuk
memberikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
auditor independen. “Saya rasa tidak ada yang ditutupi. Silakan saja
meminta laporannya ke BPK,” katanya, belum lama ini.Anggota Fraksi PAN ini tidak setuju, apabila dana bantuan parpol ditiadakan. Sebab, dana tersebut dibutuhkan, untuk menjaga keberlangsungan hidup parpol.
“Kalau tidak ada dana tersebut, pendanaan parpol dari mana. Itu pun dana yang diberikan menurut saya juga masih kurang. Di Jerman saja, parpol itu 100 persen dibiayai pemerintah,” ujarnya.
Menurutnya, dana bantuan diberikan hanya kepada parpol yang lolos ke Pemilu sesuai dengan besar kecilnya suara parpol yang bersangkutan sebagai bentuk apresiasi kepada parpol yang ada di parlemen.
“Kalau tidak salah dananya itu per 1000 suara. Itu pun kalau ditotal dananya kecil. Akibatnya, kekurangannya diambil dari iuran anggota,” ucapnya.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah X ini mengungkapkan, perdebatan mengenai dana bantuan parpol ini sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Sebelum dibuatnya peraturan mengenai dana bantuan parpol, sempat ada wacana untuk membolehkan partai memiliki badan usaha.
“Tapi khawatirkan akan terjadi conflict of interest. Nanti parpol akan berlomba-lomba untuk mencari proyek, dengan memanfaatkan posisi kadernya di parlemen, akhirnya dibatalkan,” terangnya.
Naja menambahkan, saat ini memang sedang diusahakan bagaimana supaya parpol bisa menjalankan roda organisasi dengan baik, dan tetap fokus ke bidang politik. Salah satu caranya, dengan mengurangi parpol di parlemen secara bertahap, seperti melaui kenaikan Parliementary Thereshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 3 persen. Tujuannya supaya anggaran untuk masing-masing parpol bisa ditingkatkan, namun dengan tidak membebani keuangan negara.
“Selain itu diharapkan cara ini juga bisa meningkatkan rasa kesadaran masyarakat terhadap parpol, sehingga nantinya parpol juga akan didanai secara langsung oleh masyarakat,” tuturnya.
Pake Duit Hasil Korupsi Sebaiknya Dibubarkan
Adhie Massardi, Koordinator GIB
Koordinator
Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi mengusulkan, untuk
menjaga kebersihan keuangan parpol, bagi yang terbukti membiayai
dirinya dari uang korupsi sebaiknya dibubarkan. ’’Pembubaran parpol
karena uang korupsi ini sebagai pembelajaran ke depan,’’ katanya,
belum lama ini.Adhie menyatakan, setiap tahun peluang korupsi APBN untuk Parpol selalu terbuka lebar. Pada pasal 8 UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Menteri Keuangan adalah pelaksana kuasa Presiden dalam hal keuangan negara. Wewenang ini meliputi perencanaan, penerimaan, pembelanjaan, dan pemeriksaan.
“Wewenang yang bertumpuk-tumpuk dan terpusat di satu tangan ini membuat peluang terjadinya korupsi APBN untuk Parpol sangat besar,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjut Adhie, pihaknya tengah menyiapkan materi judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait pembubaran parpol. Parpol bisa dibubarkan bila ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatannya dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sumber