Jika
harpa, piano, dan gitar plastis menjadi temuan paling bersejarah dan
berarti dalam dunia musik, maka Sasando dari Pulau Rote layak mendapat
penghargaan lebih. Alat musik tradisional masyarakat Rote ini telah ada
sejak puluhan tahun lalu dan menghasilkan suara kombinasi dari tiga alat
music, yaitu harpa, piano, dan gitar. Sasando bukan sekadar harpa,
piano, atau gitar saja, tetapi gabungan tiga alat musik dalam satu
ritme, melodi, dan bass. Jadi meskipun merupakan alat musik tradisional,
universalitas Sasando berlaku menyeluruh.
Alat musik masyarakat Rote itu tergolong cordophone
yang dimainkan dengan cara petik pada dawai yang terbuat dari kawat
halus. Resonator Sasando terbuat dari daun lontar yang bentuknya mirip
wadah penampung air berlekuk-lekuk. Susunan notasinya bukan beraturan
seperti alat musik pada umumnya melainkan memiliki notasi yang tidak
beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator.
Sasando
dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan
kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara
tangan kanan bertugas memainkan accord. Sasando di tangan pemain
ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik. Sebab hanya dari satu alat
musik, sebuah orkestra dapat diperdengarkan. Sayang, Sasando ibarat
masterpiece maestro yang terpendam dan nyaris punah. Alat musik luar
biasa itu terancam tinggal cerita manakala di tempat asalnya sendiri
telah menjadi sesuatu yang asing. Sasando memang menyimpan banyak kisah
haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu kini hanya
dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya.

Jacko
H.A. Bullan boleh jadi merupakan salah satu generasi terakhir pewaris
Sasando Rote. Anak pertama dari dua bersaudara itu tergugah untuk sadar
dan bertahan memperpanjang umur Sasando agar dapat terus mengalun di
telinga generasi mendatang. Menurutnya, orang yang bisa memainkan
Sasando saat ini tinggal delapan orang termasuk dirinya. Dari jumlah
itu, tiga orang di antaranya telah berusia di atas 30 tahun dan di NTT
sendiri saat ini sudah tak ada satu pun yang bisa memainkan Sasando.
Fakta
pahit yang ada di lapangan menyatakan bahwa orang tua-orang tua yang
demikian bangga memainkan Sasando dalam berbagai upacara adat, lengkap
dengan topi tilangga, pakaian, dan tarian adat, sebagian besar telah
meninggal dunia. Mereka tidak meninggalkan warisan berupa buku atau
sekolah yang bisa memandu generasi muda menjadi penerusnya.
Di
ibu kota, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar
Sasando. Namun, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa
sebagian besar murid yang datang adalah justru warga negara asing. Jack
mengatakan bahwa hampir 90 persen orang asing dari mulai Jepang hingga
Australia yang menjadi muridnya. Ia menyayangkan bila suatu saat kelak
bangsa Indonesia terpaksa harus belajar ke luar negeri untuk sekadar
memetik Sasando.
Sementara
itu, Direktur Promosi Luar Negeri, I Gde Pitana, mengatakan, Sasando
merupakan salah satu hasil karya maestro seni tradisi yang potensial
untuk “dijual” di dunia internasional. ”Semua orang yang mendengarkan
musik Sasando hampir pasti tertarik,” katanya. Oleh karena itu, pihaknya
kerap mengundang pemain Sasando untuk turut berpartisipasi dalam ajang “consumer selling”
ke beberapa target pasar utama pariwisata Indonesia. ”Ini juga bagian
untuk melestarikan Sasando dari ancaman kepunahan,” katanya. Dengan
demikian Jacko H.A. Bullan tidak akan pernah menjadi generasi terakhir
yang memetik dawai-dawai Sasando.