AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk
mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas
Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli
senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di
Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot
keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur
Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda
untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan
kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi
militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa
bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada
17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George
F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan
Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan
masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu
elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi
Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”
secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu
pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia,
tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi
situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru
sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi
berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada
pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh
kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan
Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan
bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang
mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington
seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh
kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan
PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB
menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun
yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada
perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan
Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan
kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang
kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk
menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil
keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan
Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen
yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan
Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele,
adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota
Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk
percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan
pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus
memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di
mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk
demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan
berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik
Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang
terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan
mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan
agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap
komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan
Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri
keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi
Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan
dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9).
Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang
drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika
delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan
kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin
bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata
ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan
mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses
perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia
yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya
alam dan manusia (11).
Gelombang
demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda
dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan
tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman
Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup
bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh
Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda
menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan
Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan
upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia
Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik
mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan
harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam
gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri
revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di
peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari
Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka
lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan
kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan
harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin
besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang
dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan
oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari
kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid
ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail
mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur
dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson
memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan
kode sandi‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black
Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA,
yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen
di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan
kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum,
propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk
pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar
negeri.
Tugas
yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno
melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang
diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan
September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana
sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD
untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah,
yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15).
Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green
memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA
kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai
1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma
menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan
politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar
Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana
layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda
pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik
Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU
PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan
memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut
kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan
sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan
Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak
perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok
minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak
di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap
tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini
adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di
Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh
beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.
SUMBER:
- "Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner
- "Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6
- "Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
- "Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
- "Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
- "Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA
- "The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon
- "American Diplomacy", Schulzinger
- "Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin
- "The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine
- "Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch
- "Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen
- "Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel
- "US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)
- http://menujuhijau.blogspot.com/2011/10/sejarah-pahit-indonesia-yang.html