
Inilah
”desa dunia” pasca-Bali. Ini memang julukan bagi obyek wisata tiga gili
atau pulau kecil yang berada di Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang,
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Sebutan
itu dapat dibuktikan melalui keberadaan sejumlah hotel berbintang yang
umumnya milik investor asing yang bekerja sama dengan warga setempat
sebagai pemilik lahan. Juga suasana di pesisir tiga gili, Trawangan,
Meno, dan Air, yang didominasi turis muda usia dari mancanegara, yang
berwisata di pulau kecil yang masih bersih dari polusi dan terpisah dari
Pulau Lombok itu.
Suasana
”desa dunia” sangat kental di Trawangan, terindikasi dari bahasa yang
digunakan wisatawan, seperti bahasa Jerman, Perancis, Spanyol, dan
Jepang; malah ada sekelompok kecil wisatawan yang berkomunikasi dengan
bahasa Lebanon. Meski demikian, pelancong yang berbahasa Inggris lebih
dominan.

Tidak
seramai Kuta, Bali, memang, tetapi Ali dan Kahlil, keduanya wisatawan
warga Swedia keturunan Lebanon, mengaku terhibur dengan suasana
Trawangan. ”Di sini suasana tenang, alami, tidak ada polusi, saya suka,”
ujar Ali, yang bersama 12 rekannya tinggal selama tiga hari pada
pertengahan Januari.
Di
Gili Trawangan tidak diizinkan menggunakan kendaraan bermesin. Yang
diizinkan hanya cidomo (kendaraan khas), kuda, dan sepeda gayung.
Transportasi ini disewakan kepada wisatawan yang ingin jalan-jalan
mengitari pulau seluas 338 hektar itu.
Gili
Trawangan yang berada di deretan barat menjadi pilihan utama karena
memiliki fasilitas lebih lengkap, seperti penginapan, hiburan malam,
sarana komunikasi dan transportasi yang nyaris sepanjang hari melayani
warga lokal ataupun wisatawan dari Pelabuhan Bangsal, Desa Pemenang, ke
Gili Trawangan, termasuk ke Gili Air yang berada di deretan paling
timur.
Agak
berbeda dengan Gili Meno, yang diapit dua pulau tetangganya, sarana dan
prasarana pendukungnya kurang lengkap meski suasana lingkungan sekitar
Meno relatif sepi dan tenang, mungkin cocok untuk wisata keluarga.
Dari
tiga gili itu, wisatawan dapat menikmati matahari terbit dari balik
Gunung Rinjani, lalu matahari terbenam, dan Gunung Agung di Bali, serta
berbagai atraksi bahari yang disukai, seperti diving dan snorkling. Ada
taman laut Meno Wall, dinding tebing curam di antara Meno dan Trawangan,
yang bisa disaksikan pada kedalaman 15 meter.
Gili
Meno juga dilengkapi danau ”alam” berair asin, serta area tempat
persinggahan burung-burung yang bermigrasi, aneka jenis dan warna ikan
hias, seperti tiger fish, blue moon, dan ikan kepe-kepe yang masuk
keluar terumbu karang. Para penyelam pun membawa roti yang dimasukkan
dalam botol bekas air mineral. Saat di dalam air, roti itu disemprotkan
guna menarik perhatian ikan hias itu.
Kecuali
ribbon coral dan finger coral, hampir di semua tempat di perairan tiga
gili itu terdapat terumbu karang berwarna biru. Terumbu karang biru
masuk marga Acropora. Warna biru itu disebabkan warna pigmen zooxanthela
atau alga bersel tunggal berwarna biru dan hidup bersimbiosa dalam
jaringan karang. Suasana ini bagaikan karang biru di Laut Karibia.

Mau
uji nyali, cobalah naik boat ke sekitar 100 meter barat-selatan dari
Gili Trawangan. Di situ, selain ada ikan hias lion fish dan ikan sotong,
juga ada shark point, sarang ikan hiu white tip di kedalaman 25-30
meter. Bagi yang mengikuti kursus selam, lokasi ini wajib dikunjungi.
Jika enggan berbasah-basah, ada glass bottom boat yang lantainya tembus pandang.
Banyak
jalan menuju gili itu. Jika sekadar tur singkat atau ”cuci mata”, bisa
mencarter boat dari obyek wisata Senggigi, Lombok Barat, yang sewanya Rp
350.000-Rp 550.000. Senggigi-Trawangan ditempuh sekitar 60 menit dengan
boat.
Menumpang
angkutan umum dari Senggigi ke Pelabuhan Bangsal, Desa Pemenang—pintu
masuk ke tiga gili itu—adalah alternatif lain. Kondisi jalan di jalur
ini beraspal hotmix, dengan medan menanjak dan tikungan menelusuri
kawasan pantai serta pada tempat tertentu dari kejauhan tampak gugusan
tiga gili itu.
Boleh
juga menumpang angkutan umum dari Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara
Barat, ke Pelabuhan Bangsal. Dalam perjalanan, para wisatawan singgah
sejenak di sekitar kawasan Hutan Pusuk, bermain-main dengan komunitas
kera abu-abu kemudian mencicipi air tuak manis yang dijajakan di pinggir
jalan.
Sekalian
juga menengok proses produksi gula merah yang dilakukan warga di
sekitar kawasan hutan itu dari mengambil air aren di pohonnya sampai
mengolahnya menjadi gula jawa.
Keunggulan
komparatif tiga gili itu menjadi magnet yang dinikmati wisatawan,
kalangan usaha, dan masyarakat. Hanya saja, mengedepankan
hitung-hitungan ekonomi yang diraih, lalu mengabaikan aspek lingkungan,
justru memperburuk persoalan lingkungan yang dalam dua dekade terakhir
ini dirasakan masyarakat. Jika lalai menjaga lingkungan yang menjadi
daya tarik tiga gili itu, niscaya ”desa dunia” ini ditinggal pelancong.