Papua Semakin Panas!! Kerusuhan Papua yang mengakibatkan beberapa
warga meninggal bagian dari skenario AS yang menginginkan wilayah paling
Timur Indonesia lepas dari NKRI. “AS sengaja membuat rusuh Papua dan
Indonesia mendapat kecaman dunia internasional,” kata pengamat
intelijen, AC Manullang, Jumat (21/10).
Menurut mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN)
ini, sebelum rusuh, AS membiayai Kongres III Papua. “AS membiayai semua
kegiatan Kongres III Papua,” ujarnya. Kata Manullang, hasil Kongres itu
sesuai yang diskenariokan AS yaitu membentuk pemerintahan Papua merdeka
dengan struktur para pejabatnya mulai presiden sampai para menteri.
“Kalau sudah membentuk struktur pemerintahan ini sudah kegiatan makar
dan pemerintah harus bertindak secara tegas,” papar Manullang.
Kerusuhan akibat Kongres Papua III, kata Manullang ini akan menjadi
senjata kelompok OPM yang dibantu AS untuk mendiskreditkan pemerintahan
Indonesia dengan isu pelanggaran HAM. “Isu pelanggaran HAM di Papua akan
diangkat di dunia internasional dan Indonesia akan terpojok,” jelasnya.
Manullang juga pemerintah mewaspadai beberapa LSM yang
mengatasnamakan HAM mendukung gerakan OPM dan Kongres Papua III.
“Kemarin saya baca, ada LSM yang mendukung Kongres Papua, pemerintah
harus memanggil LSM ini, dan ada dugaan yang kuat dibiayai AS untuk
mengacaukan Indonesia,” pungkas Manullang.
Suatu ketika jika terjadi campur tangan PBB, dan mengharuskan
referendum bagi Papua, maka nasib Papua seperti yang terjadi di Timor
Timur yang lepas dari wilayah Republik Indonesia. Lalu pihak mana yang
diuntungkan jika Papua barat merdeka?
Akankah Papua Barat lepas dari NKRI? Semua syarat menuju
des-integrasi Papua sudah terpenuhi. Proses terjadinya des-integrasi itu
sudah di depan mata. Kekuatan-kekuatan yang menginginkan des-integrasi
sudah terkonsolidasi. Suatu ketika jika terjadi campur tangan PBB, dan
mengharuskan referendum bagi Papua, maka nasib Papua seperti yang
terjadi di Timor Timur yang lepas dari wilayah Republik Indonesia.
Di zaman Jenderal Soeharto berkuasa, awal pemerintahannya, sebagai bakti dan penghormatan dia kepada Amerika Serikat, maka menyerahkan “sesaji” kepada tuannya, berupa tambang emas dan uranium, yang sekarang diberi nama : “Freeport”, pelabuhan bebas. Di mana gunung di Timika, yang kala itu, dilihat dari udara, di malam hari, seperti terpancar sinar berwarna emas yang sangat nampak, karena saking banyaknya devosit emas, yang ada di Timika. Galian tambang itu, tidak diproses di Indonesia, tetapi langsung di masukkan ke dalam kapal diangkut ke Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia tidak pernah tahu, dan tidak melakukan audit terhadap hasil pengelolaan dan pengerukan tambang emas di Freeport. Berapa sebenarnya jumlah emas dan uranium, yang sudah diangkut ke luar negeri itu nilai ekonomisnya? Tetapi, yang jelas sumber tambang emas di Timika itu, memiliki kandungan yang sangat besar devositnya.
Berapa banyak emas yang digali dari bumi Timika itu, kalau dikoversi dengan nilai uang dollar atau rupiah? Triliunan dollar. Jika dirupiahkan sudah sulit dihitung. Terlalu besar nilainya uangnya. Tapi, semuanya uang itu kemana, jatuhnya? Soeharto berkuasa hampir lebih tiga dekade alias tiga puluh tahun. Freeport itu sudah ada di awal pemerintahan Soeharto, dan ketika habis masa kontraknya diperpanjang, dan diperpanjang lagi.
Uang yang berasal dari tambang emas “Freeport” terlalu sedikit yang dinikmati rakyat Papua. Berapa lama rakyat Papua bergabung dengan Indonesia? Berapa banyak perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat Papua? Berapa kemakmuran yang sudah didapatkan dari tambang emas “Freeport” itu? Nothing.
Uang dari tambang Freeport itu, pertama yang jelas menikmati asing, alias pengusaha Amerika, dan salah satu komisaris utama Freeport itu, mantan Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger. Kedua, yang menikmati hasil tambang emas Freeport itu, tak lain, para elite pejabat di Jakarta. Mereka yang paling “kenyang” dengan pembagian dari penjualan tambang emas itu, dan mereka terus menikmati penjualan tambang emas Freeport. Karena itu, ketika masa kontrak tambang emas Freeport itu habis, segera diperbarui lagi. Entah sampai kapan?
Papua propinsi yang paling kaya dengan sumber daya alam, tetapi propinsi yang paling miskin. Tidak ada perubahan yang penting di wilayah itu. Di semua sektor. Infrastruktur tak banyak mengalami kemajuan. Seharusnya, kalau “share”nya (pembagianya) itu adil, ibukota Propinsi Papua, Jayapura, bisa lebih megah dibandingkan dengan Jakarta. Dari mulai bergabung dengan Repubilk Indonesia, zaman Soeharto, sampai SBY, tak nampak kemajuan. Papua hanya menjadi sapi perahan bagi para elite politik di Jakarta.
Polisi saja, dari laporan yang ada, sejak tahun 2009, mendapatkan dana dari Freeport, tidak kurang $ 79 juta dollar, hampir satu triliun rupiah, hanya untuk mengamankan Freeport. Tetapi, sekarang kondisi Timika, yang menjadi kota kabupaten di wilalyah Freeport terus bergejolak. Kemudian, sekarang ditunjuk Letnan Jenderal Bambang Dharmono, menjadi Kepala Tim Percepatan Pembangunan Papua.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta, belum lama ini berkunjung ke Jakarta, dan bertemu dengan sejumlah pejabat di Jakarta, dan menyinggung soal Papua. Panetta berbicara soal kesejahteraan. Sementara itu, kelompok-kelompok LSM, berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia. Terjadinya kekerasan di Papua yang sangat eksesif (berlebihan) yang dilakukan aparat keamanan, dan ini akan mempunyai implikasi yang serius.
Polisi dan tentara di pakai oleh fihak perusahaan Freeport, menjaga keamanan, dan mereka melakukan tindakan keamanan, dan deterren terhadap unsur-unsur yang ingin menganggu Freeport. Tetapi, situasi itu berubah dan terjadi eskalasi yang semakin luas, termasuk terbunuhnya Kapolres di wilayah itu oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Dilemanya, rakyat Papua merasa tidak puas, dan menginginkan Freeport menjadi milik mereka, dan mereka memiliki hak penuh atas Freeport. Freeport menggunakan aparat keamanan guna menghadapi kelompok-kelompok yang sekarang menginginkan hak-hak mereka atas Freeport. Terjadi tindakan kekerasan.
Semua itu, kemudian dimanfaatkan Amerika Serikat, mendorong terus terjadinya kekerasan dan mendukung kelompok OPM melakukan operasi militer, dan terjadi kekerasan, kemudian Amerika Serikat akan berbicara pelanggaran hak-hak sipil, dan menuntut campur tangan PBB. Dengan begitu Papua akan lepas dari tangan Indonesia. Inilah sebuah skenario yang dihadapi Indonesia tentang Papua. Mirip yang terjadi di Sudan Selatan, yang kemudian lepas dari Sudan utara.
Nopember ini di Bali akan berlangsung sebuah konferensi yang akan dihadiri Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dan masalah Papua menjadi masalah yang sangat serius. Jika Papua lepas dari tangan Indonesia, maka ini akan seperti teori domino, yang akan berdampak terhadap wilayah lainnya di Indonesia. Karena potensi di-integrasi itu sangat besar, akibat ketidak adilan. Di mana-mana.
Ketidak adilan itu disebabkan karena faktor korupsi, dan ketamakan para pejabat di pusat dan di daerah yang sudah sangat sistemik, di mana sekarang apa yang disebut dengan : “State corruption”, (korupsi negara) itu sudah menjadi nayata. Apalagi, di era partai politik, yang sekarang memegang kekuasaan, kekayaan negara telah di kapling-kapling, dan melalui departemen, di mana para menteri yang berasal dari partai politik itu, pasti dengan mudah akan membuat “deal” dengan fihak asing menjual asset negara guna memenuhi pundi-pundi mereka, khususnya untuk menghadapi pemilu.
Para pemimpin partai politik sekarang mencari sandaran kepada negara-negara yang dipandang kuat, seperti Amerika Serikat, dan mereka pasti menjadikan Amerika Serikat sebagai patron (tuan) mereka. Maka, tambang emas di Timika, tambang minyak di Cepu, Batubara di Kalimantan, dan sejumlah tambang lainnya, di Sumbawa Sulawesi, dan Sumatera itu, mereka jadikan “sesaji” bagi tuan mereka di Washington.
Rakyat seperti di Papua hanya menikmati kemelaratan mereka, dan sebagian mereka masih hidup nomaden dan menggunakan koteka. Sementara elite politik mereka menikmati kelezatan dari kekuasaan mereka, dan hasil menjual kekayaan negara kepada fihak asing. Mereka akan menyambut dengan senang hati kedatangn Barack Obama di Bali. [Ruanghati.com]
Masalah paling pokok atau mendasar di Papua, masalah keadilan. Di mana rakyat Papua tidak mendapatkan keadilan. Terutama terkait dengan pembagian hasil sumber daya alam mereka. Rata-rata rakyat Papua, sejak di jajah Belanda, sampai bergabung dengan Indonesia, tidak mengalami perubahan nasib mereka, dan tidak mendapatkan keadilan. Mereka tetap miskin. Masih banyak diantara mereka memakai koteka.Nama Irian Barat yang di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, sesuai dengan keinginan rakyat di wilayah itu, kemudian diganti namanya menjadi Papua. Itu sebenarnya secara de facto mengakui eksistensi gerakan yang menginginkan wilayah itu lepas dari Republik Indonesia. Irian Barat yang sekarang menjadi Papua itu, sebuah hadiah dari Presiden Kennedy, yang menekan penjajah Belanda, menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia, dan Indonesia masuk ke dalam geostragi Amerika di era perang dingin.
Di zaman Jenderal Soeharto berkuasa, awal pemerintahannya, sebagai bakti dan penghormatan dia kepada Amerika Serikat, maka menyerahkan “sesaji” kepada tuannya, berupa tambang emas dan uranium, yang sekarang diberi nama : “Freeport”, pelabuhan bebas. Di mana gunung di Timika, yang kala itu, dilihat dari udara, di malam hari, seperti terpancar sinar berwarna emas yang sangat nampak, karena saking banyaknya devosit emas, yang ada di Timika. Galian tambang itu, tidak diproses di Indonesia, tetapi langsung di masukkan ke dalam kapal diangkut ke Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia tidak pernah tahu, dan tidak melakukan audit terhadap hasil pengelolaan dan pengerukan tambang emas di Freeport. Berapa sebenarnya jumlah emas dan uranium, yang sudah diangkut ke luar negeri itu nilai ekonomisnya? Tetapi, yang jelas sumber tambang emas di Timika itu, memiliki kandungan yang sangat besar devositnya.
Berapa banyak emas yang digali dari bumi Timika itu, kalau dikoversi dengan nilai uang dollar atau rupiah? Triliunan dollar. Jika dirupiahkan sudah sulit dihitung. Terlalu besar nilainya uangnya. Tapi, semuanya uang itu kemana, jatuhnya? Soeharto berkuasa hampir lebih tiga dekade alias tiga puluh tahun. Freeport itu sudah ada di awal pemerintahan Soeharto, dan ketika habis masa kontraknya diperpanjang, dan diperpanjang lagi.
Uang yang berasal dari tambang emas “Freeport” terlalu sedikit yang dinikmati rakyat Papua. Berapa lama rakyat Papua bergabung dengan Indonesia? Berapa banyak perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat Papua? Berapa kemakmuran yang sudah didapatkan dari tambang emas “Freeport” itu? Nothing.
Uang dari tambang Freeport itu, pertama yang jelas menikmati asing, alias pengusaha Amerika, dan salah satu komisaris utama Freeport itu, mantan Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger. Kedua, yang menikmati hasil tambang emas Freeport itu, tak lain, para elite pejabat di Jakarta. Mereka yang paling “kenyang” dengan pembagian dari penjualan tambang emas itu, dan mereka terus menikmati penjualan tambang emas Freeport. Karena itu, ketika masa kontrak tambang emas Freeport itu habis, segera diperbarui lagi. Entah sampai kapan?
Papua propinsi yang paling kaya dengan sumber daya alam, tetapi propinsi yang paling miskin. Tidak ada perubahan yang penting di wilayah itu. Di semua sektor. Infrastruktur tak banyak mengalami kemajuan. Seharusnya, kalau “share”nya (pembagianya) itu adil, ibukota Propinsi Papua, Jayapura, bisa lebih megah dibandingkan dengan Jakarta. Dari mulai bergabung dengan Repubilk Indonesia, zaman Soeharto, sampai SBY, tak nampak kemajuan. Papua hanya menjadi sapi perahan bagi para elite politik di Jakarta.
Polisi saja, dari laporan yang ada, sejak tahun 2009, mendapatkan dana dari Freeport, tidak kurang $ 79 juta dollar, hampir satu triliun rupiah, hanya untuk mengamankan Freeport. Tetapi, sekarang kondisi Timika, yang menjadi kota kabupaten di wilalyah Freeport terus bergejolak. Kemudian, sekarang ditunjuk Letnan Jenderal Bambang Dharmono, menjadi Kepala Tim Percepatan Pembangunan Papua.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta, belum lama ini berkunjung ke Jakarta, dan bertemu dengan sejumlah pejabat di Jakarta, dan menyinggung soal Papua. Panetta berbicara soal kesejahteraan. Sementara itu, kelompok-kelompok LSM, berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia. Terjadinya kekerasan di Papua yang sangat eksesif (berlebihan) yang dilakukan aparat keamanan, dan ini akan mempunyai implikasi yang serius.
Polisi dan tentara di pakai oleh fihak perusahaan Freeport, menjaga keamanan, dan mereka melakukan tindakan keamanan, dan deterren terhadap unsur-unsur yang ingin menganggu Freeport. Tetapi, situasi itu berubah dan terjadi eskalasi yang semakin luas, termasuk terbunuhnya Kapolres di wilayah itu oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Dilemanya, rakyat Papua merasa tidak puas, dan menginginkan Freeport menjadi milik mereka, dan mereka memiliki hak penuh atas Freeport. Freeport menggunakan aparat keamanan guna menghadapi kelompok-kelompok yang sekarang menginginkan hak-hak mereka atas Freeport. Terjadi tindakan kekerasan.
Semua itu, kemudian dimanfaatkan Amerika Serikat, mendorong terus terjadinya kekerasan dan mendukung kelompok OPM melakukan operasi militer, dan terjadi kekerasan, kemudian Amerika Serikat akan berbicara pelanggaran hak-hak sipil, dan menuntut campur tangan PBB. Dengan begitu Papua akan lepas dari tangan Indonesia. Inilah sebuah skenario yang dihadapi Indonesia tentang Papua. Mirip yang terjadi di Sudan Selatan, yang kemudian lepas dari Sudan utara.
Nopember ini di Bali akan berlangsung sebuah konferensi yang akan dihadiri Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dan masalah Papua menjadi masalah yang sangat serius. Jika Papua lepas dari tangan Indonesia, maka ini akan seperti teori domino, yang akan berdampak terhadap wilayah lainnya di Indonesia. Karena potensi di-integrasi itu sangat besar, akibat ketidak adilan. Di mana-mana.
Ketidak adilan itu disebabkan karena faktor korupsi, dan ketamakan para pejabat di pusat dan di daerah yang sudah sangat sistemik, di mana sekarang apa yang disebut dengan : “State corruption”, (korupsi negara) itu sudah menjadi nayata. Apalagi, di era partai politik, yang sekarang memegang kekuasaan, kekayaan negara telah di kapling-kapling, dan melalui departemen, di mana para menteri yang berasal dari partai politik itu, pasti dengan mudah akan membuat “deal” dengan fihak asing menjual asset negara guna memenuhi pundi-pundi mereka, khususnya untuk menghadapi pemilu.
Para pemimpin partai politik sekarang mencari sandaran kepada negara-negara yang dipandang kuat, seperti Amerika Serikat, dan mereka pasti menjadikan Amerika Serikat sebagai patron (tuan) mereka. Maka, tambang emas di Timika, tambang minyak di Cepu, Batubara di Kalimantan, dan sejumlah tambang lainnya, di Sumbawa Sulawesi, dan Sumatera itu, mereka jadikan “sesaji” bagi tuan mereka di Washington.
Rakyat seperti di Papua hanya menikmati kemelaratan mereka, dan sebagian mereka masih hidup nomaden dan menggunakan koteka. Sementara elite politik mereka menikmati kelezatan dari kekuasaan mereka, dan hasil menjual kekayaan negara kepada fihak asing. Mereka akan menyambut dengan senang hati kedatangn Barack Obama di Bali. [Ruanghati.com]