Setiap
gelap mulai turun, Siti Maimunah selalu galau. Dia tercatat sebagai
santri perempuan di pondok pesantren itu. Jika malam hari, Siti tidur
bersama rekan-rekan sejenis. Tapi itu adalah siksaan baginya. Setiap
kali melihat tubuh para gadis yang pulas, nafsunya bergejolak.
Setiap malam dia membayangkan hal tak seharusnya: hasrat menelusuri tubuh para perempuan di kamar itu. Dia berusaha memejamkan mata, mengusir khayalan mesum. “Aku harus menahan diri tidak menubruk mereka. Itu sangat menyiksa,” ujarnya.
Setiap malam dia membayangkan hal tak seharusnya: hasrat menelusuri tubuh para perempuan di kamar itu. Dia berusaha memejamkan mata, mengusir khayalan mesum. “Aku harus menahan diri tidak menubruk mereka. Itu sangat menyiksa,” ujarnya.
Tak
hanya malam hari. Siksaan serupa menyergap saat menyaksikan para santri
perempuan berganti baju. Siti mendadak minder. Dadanya rata, tak tumbuh
seperti yang lain. Setiap kali memandang lekuk tubuh perempuan,
gairahnya menyala. Birahinya mendidih.
Dalam
keadaan begitu, dia memang memilih menyingkir. Tapi getaran sinting itu
tetap menjalar ke sekujur tubuh. Dia mencoba menekan nafsu tersulut
itu. Tapi kadang lepas juga. “Kalau sudah begitu ya aku lari ke kamar
mandi,” ujarnya.
Remaja
asal Semarang, Jawa Tengah, itu tersandera dalam satu pergulatan batin.
Dia tak mengalami sensasi apapun saat berpacaran dengan laki-laki.
Ketertarikannya justru menguat ke sosok perempuan.
“Saya merasa aneh, kok saya jadi senang dengan sesama jenis. Jadi greng kalau
tidur bareng. Saya juga merasa aneh ketika melihat teman-teman lain
sudah menstruasi dan payudaranya tumbuh, tapi saya belum.”
Di
tengah tanda tanya itu, Siti mulai belajar tentang anatomi tubuh. Dia
juga mulai paham tanda-tanda pubertas. Lalu, dia mulai sadar: ada yang
salah dengan identitasnya.
Obsesi orangtua
Lahir 1992, Siti memenuhi obesi orangtuanya yang rindu seorang anak perempuan. Luapan gembira menyelimuti keluarga saat dukun bayi menyebut kelaminnya perempuan. Siti menjadi satu-satunya perempuan di antara empat saudara laki-laki.
Lahir 1992, Siti memenuhi obesi orangtuanya yang rindu seorang anak perempuan. Luapan gembira menyelimuti keluarga saat dukun bayi menyebut kelaminnya perempuan. Siti menjadi satu-satunya perempuan di antara empat saudara laki-laki.
“Orangtuanya memang menginginkan anak perempuan. Ndilalah waktu lahir, dia memang kayakperempuan. Nggak punya kemaluan laki-laki, jadi dia dianggap perempuan, dan dikasih nama Siti Maimunah,” kata Juminah, 75, neneknya.
Menyandang
nama perempuan, Siti tumbuh feminin. Dia memakai rok. Baju berenda.
Pita di rambut. Bedak di wajah. Ia pun suka mainan perempuan seperti
pasaran, main boneka, dan masak-masakan.
Keperempuanan
Siti kian menonjol saat orangtua mengirimnya ke pondok pesantren khusus
putri di Semarang. “Dia pakai busana muslim dan jilbab,” kata Juminah.
Namun,
seiring pubertas, feminitas Siti tak lagi tertolong gaya busana.
Gelisah melanda saat payudaranya tak kunjung tumbuh. Menstruasi tak
kunjung datang, sebagai tanda siklus bulanan organ reproduksi perempuan.
Suaranya
pun berubah parau seiring munculnya jakun di leher. “Di sini Pak Ustad
mulai curiga. Dia tanya apa saya laki-laki, saya menjadi bingung dan
mulai tergerak mencari tahu identitas saya yang sebenarnya,” ujar Siti.
Karena
kejanggalan itu, Siti mulai menggugat takdirnya. “Saat saya pacaran
dengan seorang laki-laki, tak ada sensasi apapun. Tapi, saat saya
berkumpul dengan teman-teman putri, saya justru merasagreng,” kata dia.
Nana
Ramdhana, sahabatnya, mengatakan sejak kecil Siti memang tampil
feminin. Hanya, perawakannya kuat seperti laki-laki. “Menginjak remaja
suaranya berubah besar. Ia jadi sedikit minder. Apalagi banyak yang
mengejeknya banci. Dia sering curhat sampai nangis kalau diejek,” ujarnya.
Selain
berkeluh-kesah kepada sahabat, Siti memberanikan diri bertanya ke
orangtua tentang kondisinya saat lahir. Dari cerita yang ia dapat, dukun
bayi mulanya menyebut kelaminnya perempuan. Namun, sesaat kemudian
mengatakan kalau ternyata laki-laki, hanya tak sempurna.
Kadung
sumringah memiliki anak perempuan, orangtuanya agaknya abai dengan
ralat sang dukun bayi. Mereka memutuskan membesarkan anaknya sebagai
perempuan.
Apakah Siti kini marah?
“Tidak.
Orang tuaku sangat lugu, yang dilakukan keduanya hanya karena keinginan
mereka mempunyai anak perempuan, mereka tak pernah bersekolah jadi
tidak mengira akibatnya seperti ini,” ujarnya.
Dari Siti ke Joy
Siti merasa terjebak dengan penampilan salah. Keyakinannya tak terbendung setelah menjalani operasi hernia pada 2010. “Awalnya sakit di perut bagian bawah, dokter bilang hernia, dari situ ia semakin yakin karena hernia biasanya dialami laki-laki,” kata Retno Kusmardani, sang pengacara.
Siti merasa terjebak dengan penampilan salah. Keyakinannya tak terbendung setelah menjalani operasi hernia pada 2010. “Awalnya sakit di perut bagian bawah, dokter bilang hernia, dari situ ia semakin yakin karena hernia biasanya dialami laki-laki,” kata Retno Kusmardani, sang pengacara.
Meski
belum menanggalkan jilbabnya, Siti mulai berpikir memperjuangkan
identitas gender yang sebenarnya. Ia bersumpah segera melakukan
rangkaian tes medis selepas lulus sekolah menengah atas dan bekerja.
Ia
harus sabar karena tes medis butuh biaya besar yang tak mungkin
terbayar keluarganya. “Sambil nunggu lulus, saya cuma bilang ke beberapa
sahabat, jangan kaget ya nanti kalau suatu saat saya berubah menjadi
laki-laki,” katanya.
Lulus
sekolah menengah atas, Siti segera melamar kerja di sebuah perusahaan
garmen dengan nama Muhammad Prawirodijoyo. “Yang kasih nama orangtua.
Setelah saya berterus terang tentang keadaan saya, mereka memilihkan
nama itu untuk saya,” ujarnya. Dia kini punya panggilan baru: Joy.
Uang
hasil keringat terkumpul. Ia memenuhi sumpahnya melakukan serangkaian
tes di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Ia menjalani pemeriksaan organ
reproduksi, darah, hormon, hingga genetika. Secara hormonal, ia 100
persen laki-laki, meski alat kelaminnya tak sempurna.
Berbekal
surat keterangan medis itu, Joy lalu mendatangi kantor Kelurahan
Sembungharjo. Ia utarakan maksud dan kegelisahannya. Ia juga bercerita
tentang kesehariannya yang terlanjur dikenal sebagai perempuan.
Roihan,
Sekretaris Kelurahan Sembungharjo, membenarkan itu. Joy datang sendiri.
“Waktu itu ada anak-anak mahasiswa KKN. Agar tak menarik perhatian, ia
saya ajak ke ruang tertutup. Ia lalu menyampaikan keinginannya secara
wajar, tak ada ekspresi berlebih,” kata Roihan.
Melihat
Roihan tak percaya, Joy menyanggupi cek fisik di kamar kecil. “Benar.
Saya melihat organ genitalnya meski tak sempurna adalah organ genital
laki-laki. Sekilas memang bentuknya seperti organ genital perempuan.
Tapi jika diamati, ia benar-benar laki-laki,” kata Roihan.
Joy
menggunakan bukti medis dan surat pengantar dari kelurahan sebagai
pegangan mengajukan perubahan identitas kelamin ke pengadilan. “Putusan
pengadilan menjadi bukti hukum penting untuk mengurus semua dokumen
seperti akta, KTP, dan ijazah,” Retno menambahkan.
Merujuk
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
perubahan status jenis kelamin dalam akta kelahiran harus didasarkan
pada putusan pengadilan. Ini jika permohonan perubahan terjadi dalam
jangka waktu lebih dari 30 hari setelah akta kelahiran terbit.
Membangun kejantanan
Dengan bukti-bukti medis yang kuat, proses pergantian status kelamin secara hukum, mungkin tak akan sulit. Seperti beberapa kasus terdahulu yang tak membutuhkan proses berbelit.
Dengan bukti-bukti medis yang kuat, proses pergantian status kelamin secara hukum, mungkin tak akan sulit. Seperti beberapa kasus terdahulu yang tak membutuhkan proses berbelit.
Pada
akhir 2009, misalnya, Pengadilan Negeri Batang pernah mengabulkan
permohonan pergantian status kelamin Agus Wardoyo yang kemudian berganti
nama menjadi Nadia Ilmira Arkadia.
Secara
fisik, Agus lahir dengan kelamin laki-laki. Namun, ia merasa
terperangkap di raga yang salah. Selepas sekolah menengah atas, ia
mempersiapkan diri menjadi perempuan dengan melakukan operasi kelamin di
RS Dr. Soetomo Surabaya.
Di
tahun sama, seorang bocah enam tahun asal Purwokerto juga mengajukan
pergantian status kelamin ke pengadilan setempat. Bocah yang mulanya
menyandang status perempuan itu segera berganti nama laki-laki setelah
pengadilan mengabulkan permohonannya.
Orangtuanya
bilang, saat lahir bocah itu berjenis kelamin perempuan. Namun,
berselang beberapa bulan muncul kelamin pria di kelamin wanitanya.
“Setelah dilakukan pemeriksaan di rumah sakit tidak terdapat rahim dan
memiliki kromosom laki-laki yakni XY,” katanya.
Probowatie
Tjondronegoro Mpsi, psikolog dari Universitas Semarang, justru khawatir
proses adaptasi secara kejiwaan dengan lingkungan. Meski secara medis
laki-laki, namun sejak kecil Joy terbiasa dengan perlakuan perempuan.
“Perlakuan feminisasi ini akan berdampak pada kepercayaan dirinya,”
katanya.
Menurutnya,
solusi paling cepat menyempurnakan maskulinitasnya adalah putus dari
lingkungan lama. Joy disarankan pindah ke tempat yang orang tak tahu
masa lalunya. “Di situ ia bisa leluasa membangun kembali identitas
barunya, agar keyakinannya tak terkikis oleh gunjingan,” kata
Probowatie.
Probowatie
menyebut unsur feminitas Joy saat ini lebih terasah karena faktor
pembiasaan dan perlakuan lingkungannya. Namun, seiring pertumbuhan
kedewasaannya, Joy gelisah dan naluri maskulinitasnya menuntut
pengakuan. Ini terjadi karena secara hormonal, maskulinitas Joy lebih
kuat.
Yang
paling mungkin dan paling cepat mengembalikannya adalah membebaskannya
dari lingkungan lamanya dan dimutasikan ke lingkungan baru,” kata
Probowatie. “Kata kuncinya adalah kumpulan kebiasaan akan menjadi
perilaku.” ).