Jumat, 15 Oktober 2010

Bobroknya Sistem Hukum Di Indonesia, Di Ibaratkan Orang Sakit Akibat Merokok

Bobroknya sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok, karena ingin tetap merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono Reksodiputra dalam diskusi hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Jalan Diponegoro 64, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” tambah anggota KHN ini. (detiknews).
Sistem Hukum
Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).
Dengan demikian, jika kita berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita abaikan. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.
Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang ada di Negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga-lembaga Negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip check and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga Negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum di Negara kita.
Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa Substansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture).
Karena sistem hukum tanpa Budaya Hukum yang mendukungnya serupa dengan ikan di dalam baskom, yang tidak bisa berenang. Dimana kalau sistem hukumnya diumpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika Substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum? Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga, ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan-bulanan aparat hukum.
Ada Apa Di Sektor Penegakan Hukum?
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya.
Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi di dalamnya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan, baik dilihat dari sistemnya sendiri maupun dari pelaksana sistemnya yang kemudian berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di Negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum. Lalu bagaimana cara-Nya? Jika mengadopsi pemikiran Guru Besar Luar Biasa UI tersebut, untuk memotong penyakit ini, maka diperlukan hakim komisaris yaitu hakim senior yang menilai kasus dari proses penyidikan hingga pendakwaan. Hakim yang disarankan minimal 20 tahun pengalaman kerja ini berfungsi layaknya hakim praperadilan tapi bersifat aktif atas suatu kasus. (detiknews, Senin, 03/05/2010). Dan bagi penulis sendiri, lebih baik mereka dikenakan sanksi yang seberat-beratnya, dengan kemudian prosedural sangsi sosial-Nya dengan diumumkankhusus”dia audio atau Visual.an atnya, dengan atau ditayangkan “secara khusus lengkap profile keluarga-Nya” ke khalayak masyarakat luas Via media cetak atau audio Visual, semacam notifikasi. 

Sumber: http://kabarnet.wordpress.com/2010/05/03/bobroknya-sistem-hukum-di-indonesia-di-ibaratkan-orang-sakit-akibat-merokok/

Photobucket
Free Counter
Photobucket