Bobroknya sistem hukum di
Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan,
orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika
sakitnya karena rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan
selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok,
karena ingin tetap merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono
Reksodiputra dalam diskusi hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN),
Jalan Diponegoro 64, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi
tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim
yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus,
mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” tambah anggota KHN ini. (detiknews).
Sistem Hukum
Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).
Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).
Dengan demikian, jika kita berbicara
tentang sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut secara bersama-sama
atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita abaikan. Struktur
adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi
mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para
jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan
pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah
keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum
adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara
bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.
Oleh karena itu untuk menuju
terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari
seluruh elemen yang ada di Negara kita. Upaya untuk menciptakan
supremasi hukum bukan hanya hak lembaga-lembaga Negara kita dengan
pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip check and balances dalam
pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap
warga Negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi
hukum di Negara kita.
Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa Substansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture).
Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa Substansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture).
Karena sistem hukum tanpa Budaya Hukum yang mendukungnya serupa dengan ikan di dalam baskom, yang tidak bisa berenang. Dimana
kalau sistem hukumnya diumpamakan sebagai suatu pabrik, menurut
Friedman lagi, jika Substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan
Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan Budaya Hukum
adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin, dan
yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil
contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum? Jika kita
mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal
culture), begitu juga, ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin
mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan-bulanan
aparat hukum.
Ada Apa Di Sektor Penegakan Hukum?
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya.
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya.
Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak
terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru
mencederai rasa keadilan masyarakat.
Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu mendapat
sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah
sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia.
Hal lain yang kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan
terjadi di dalamnya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa
sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan
kebusukan, baik dilihat dari sistemnya sendiri maupun dari pelaksana
sistemnya yang kemudian berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau
bahkan hilangnya supremasi hukum di Negara ini. Hal ini
tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya
usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum.
Lalu bagaimana cara-Nya? Jika mengadopsi pemikiran Guru Besar Luar
Biasa UI tersebut, untuk memotong penyakit ini, maka diperlukan hakim
komisaris yaitu hakim senior yang menilai kasus dari proses penyidikan
hingga pendakwaan. Hakim yang disarankan minimal 20 tahun pengalaman
kerja ini berfungsi layaknya hakim praperadilan tapi bersifat aktif
atas suatu kasus. (detiknews, Senin, 03/05/2010). Dan
bagi penulis sendiri, lebih baik mereka dikenakan sanksi yang
seberat-beratnya, dengan kemudian prosedural sangsi sosial-Nya dengan
diumumkankhusus”dia audio atau Visual.an atnya, dengan atau ditayangkan
“secara khusus lengkap profile keluarga-Nya” ke khalayak masyarakat
luas Via media cetak atau audio Visual, semacam notifikasi.
Sumber: http://kabarnet.wordpress.com/2010/05/03/bobroknya-sistem-hukum-di-indonesia-di-ibaratkan-orang-sakit-akibat-merokok/