Sabtu, 04 Desember 2010

Gayus Vs Pemilik Warteg

Sungguh di negeri ini berlaku hukum rimba, siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa. Kuat lebih dalam pengertian kuat secara finansial, menguasai sumber-sumber keuangan yang bisa mengatur jalannya roda ekonomi dan politik. Pemberlakuan pajak bagi pemilik warung nasi yang sedianya akan dilakukan pada Januari 2011 bukan hanya mendapat kritikan dari para pemilik warteg. Bahkan ada seorang pemilik warung nasi yang menjual makanan soto babat Betawi menyarankan agar pemerintah minta uang pajak kepada Gayus Tambunan.

Ilustrasi Gayus menjadi pedagang kaki lima di trotoar

Ilustrasi Gayus menjadi pedagang kaki lima di trotoar, siapakah yang perlu dimiskinkan, koruptor atau rakyat kecil?
“Ngapain minta ke kita. Minta saja sama Gayus tuh. Dia banyak duitnya,” ucap salah seorang pemilik warung dengan nada kesal yang enggan disebut identitasnya, Kamis (2/12/2010). Mendengar kabar tersebut, ia terlihat kaget. Pasalnya, hingga saat ini ia belum mendengar kabar pembayaran pajak ini. Karena, ia beralasan, belum adanya sosialisasi dari pemerintah DKI Jakarta.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu dini untuk mengambil kebijakan sepihak ini. Menurutnya, kebijakan ini semakin menyiksa masyarakat kecil yang hanya mengandalkan dari penjualan nasi untuk bertahan hidup. “Ada-ada saja pemerintah ini,” tandasnya.
http://kolomkita.detik.com/upload/Koleksi%20wig%20gayus.jpg
Sederhana memang pemikiran para kawula alit atau wong cilik, tak serumit etika yang harus dipelajari para anggota dewan di Yunani belum lama ini. Mungkin para rakyat sudah terlalu apatis untuk menyikapi apapun kebijakan pemerintah, apalagi kebijakan yang membebani rakyat banyak.
Seorang Gayus dengan uang miliaran ditangan bisa mengatur dan menundukan aparat, bahkan tak jarang dalam praktek mafia hukum uang bisa membuat para pemegang jabatan dan wewenang beralih profesi menjadi pelacur, pelacur jabatan karena bisa dibeli dan diatur oleh uang oleh pemberinya.
Tentu bukan hal yang bijak membiarkan perompak kekayaan negara, para benalu yang menghisap sari pati sumber dana negara itu berkeliaran bebas sementara rakyat jelata dihisap darahnya dan tak diberi kesempatan bernafas lebih lega dari segala himpitan birokrasi kompleks yang menjadikan mereka tak bisa berkembang dengan baik. Dimana letak keadilan?


Sumber :http://ruanghati.com/2010/12/03/antara-gayus-vs-pemilik-warung-tegal-warteg/

Photobucket
Free Counter
Photobucket