1. Tan Malaka
Atau
bergelar Datuk Ibrahim lahir di Nagari Padam gadang,Suliki Sumatera
Barattanggal 19 februari 1896, Belum jelas latar belakang keluarga Tan
Malaka,walaupun beliau dilahirkan di kota Padang dan memiliki gelar
Datuk dan beragama Islam,ada sebagaian orang menyebutkan Tan Malaka
adalah seorang keturunan Etnis Tionghoa,hal ini dapat dilihat dari nama “Tan”.
“Tan” merupakan
nama salah satu marga Tionghoa berdialeg Hokkian, walaupun dalam
sejarah Indonesia hal tersebut tidak dituliskan. Tan Malaka seorang
pejuang kemerdekaan yang militant,radikal dan revolusioner juga
legendaries.dia seorang yang kritis,dengan seringnya membuat kritikan
mulai dari jaman penjajahan belanda sampai pemerintahan Soekarno-Hatta.
Tan
Malaka adalah seorang sosialis dalam cara berpikir dan pandangan
politiknya tetapi dia sendiri bukan seorang komunis,hal tersebut
terlihat dengan seringnya beliau terlibat konflik dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Rumah tempat kelahiran Tan Malaka
Tan
Malaka menghabiskan sebagaian hidupnya di pembuangan diluar Indonesia,
Sebagai seorang aktifis kemerdekaan, beliau seringkali menjadi sasaran
penahanan pemerintah colonial Belanda,tetapi justru dengan keadaanya
yang demikian, Tan Malaka dapat memainkan peran Intelektualnya di dunia
Internasional,dengan membangun jaringan gerakan sosialis Internasional
untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara.
Dalam
sejarah Tan Malaka tercatat sebagai seorang Pendiri Partai MURBA,yang
berasal dari Sarekat Islam (S.I) Jakarta dan semarang,Ia dibesarkan
dalam semangat Modernisasi Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tan Malaka Muda
Pada
tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan
semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak
mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga
berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam)
untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta
ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara,
jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda
melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil
tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat
hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah
sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga
dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk
mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis,
membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua,
memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka
dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib
kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang
diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga
sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan
Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat
Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan
ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan
Hindia Belanda lewat VSTP
dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat
propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya
ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis
di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi
usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan
vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.
Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar,
program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa
diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya
sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai
seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab
yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya
memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia"
memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington
merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai
atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina
pecah…."
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan,
di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan
pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin,
Tan Malaka saat Revolusi kemerdekaan
Pada
tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu
rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Karya Tan Malaka yang lainnya adalah sebuah buku yang berjudul MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika), Madilog
merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu
bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan
akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia.
Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi
filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan,
pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda
dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan
yang pertama.
Buku Madilog Karya Tan Malaka
Bagi
Madilog, yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat
diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan
ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara
rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa,
mengapa dan bagaimana.
2. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo,
dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan
Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan
bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Semenjak
tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya
gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika
anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya
mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke
organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua
organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah
gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah Pemuda".
Deklarasi Sumpah Pemuda
Selain
bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia
Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian
Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi
reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22
tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai
artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada
penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943,
ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di
bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi
kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah
pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis
Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Majlis Islam A'ala Indonesia
Dalam
masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga
Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan
pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan
militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut
Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang
utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi
inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Tentara Islam Indonesia (TII)
Pada
bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di
Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di
Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan
dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya
umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya
dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi
proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal
kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
saat Perang revolusi kemerdekaan
Namun
sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum
nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan
berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler.
Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan
hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah
dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum
nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif
memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya
dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi
yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan
ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan
Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan
senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI
harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil
pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi
pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus
dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur --atau "kabur"
dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini,
Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi
ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan
memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan
rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan
Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa
Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu
apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu
perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami
kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi
Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang
kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam
atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia
Proklamasi Nagara Islam Indonesia (NII)
sering
disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam
muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi
sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai
sebuah "pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia
merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia
di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat
menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah
pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional,
bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan
politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi"
yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam.
Akhirnya,
perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah
Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962,
menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara
Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati
kemudian diberikan kepada Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo saat di tangkap
Tentang
kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution
cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika
wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala
konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan
rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Inilah
dua tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sangat Kontroversial
sampai saat ini, dimana sangat sedikit sekali literatur yang mengisahkan
tentang kedua tokoh tersebut, dan terlepas dari kontroversi , faktanya
keduanya berjuang dan berkorban demi kemerdekaan Bangsa Indonesia
walaupun pada Akhirnya berbeda pandangan dan pemikiran untuk membawa
bangsa Indonesia kepada satu tujuan yaitu Negara yang Adil dan Makmur
demi kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia.
Sumber : Klik Disini