
Muammar Khadafi saat berpidato pada 22 Februari 2011
(AP Photo/Libya State Television via APTN)
Dia pernah dibenci Barat, tapi lalu jinak. Anti imperialisme, dan suka tidur di tenda.
Muammar Khadafi adalah seorang kolonel
tanpa urat takut. Pada 1969, di usia muda, dengan nyali yang menyala,
dia menjungkalkan tahta raja Libya, satu kudeta yang berhasil, dan
membalikkan gerak sejarah negeri itu.
Dia tampil sebagai revolusioner nekad, meski kerap juga ngawur. Kini,
setelah 41 tahun berkuasa, Khadafi tak juga gentar. Dia tahu, hari-hari
ini di sekujur tanah Arab para tiran terancam terguling oleh pergolakan
rakyat.
Tapi Khadafi yang lama menjadi antagonis--dia rajin berkelahi dengan
tetangganya sesama bangsa Arab, kini seperti hendak menegaskan kembali
wataknya yang keras kepala.
Berdiam di tenda, dia pernah menyambut gencarnya bom Amerika Serikat
pada 1986, dengan tenang. Barangkali, itu sebabnya, ketika demonstrasi
kian hebat menuntut dia mundur, Khadafi melihat gerak protes tak
bersenjata itu seperti sebuah ancaman militer. Warga sipil Libya, yang
menuntut perubahan itu, dihajarnya dengan jet tempur.
Kini, tanpa rasa bersalah, pemimpin bernama lengkap Muammar Muhammad al-Khadafi itu nekad menembaki rakyat sendiri.
Konflik di Libya, kata banyak pengamat, tak akan terjadi bila tak ada
pergolakan di Tunisia dan Mesir. Dua tetangga mengapit Libya itu
berhasil menjungkalkan rezim yang kelewat lama berkuasa di negeri
mereka. Revolusi adalah gagasan yang menular, dan momen itu dimanfaatkan
oposisi di Libya melawan rezim Khadafi.
"Kemarin Ben Ali [Tunisia], hari ini Mubarak [Mesir]. Selanjutnya
harus Khadafi," ujar seorang pemrotes di Kota Benghazi, tak lama setelah
mendengar pengumuman Presiden Mesir, Hosni Mubarak, berhasil dipaksa
mundur pada 11 Februari lalu.
Tapi Khadafi adalah kolonel yang hanya mendengar dirinya sendiri.
"Mereka main keras, saya juga main keras. Saya akan bertahan hingga
tetes darah terakhir" ujar Khadafi seperti dikutip kantor berita
Associated Press.
Dia lalu menuding siapa saja yang menyebar kebencian atas dirinya,
mulai dari negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat hingga jaringan
teroris al-Qaidah. Pekan lalu, dia seperti meracau, mengatakan semua
rakyat Libya mencintai dia. Washington pun menilai Khadafi "melantur".
Tak ada kata lain bagi Khadafi, kata Gedung Putih, selain dari turun
dari kekuasaan.
Korban jiwa pun berjatuhan di Libya. Menurut Duta Besar Libya untuk
PBB, Ali Suleiman Aujali, lebih dari 2.000 orang tewas dalam dua pekan
terakhir. Warga yang melawan itu tumbang diberondong peluru tajam oleh
milisi pro-Khadafi, yang kebanyakan adalah tentara bayaran dari Chad.
Khadafi akrab dengan kekerasan. Begitu meraih kekuasaan, dia bertahan
selama 40 tahun lebih, dengan cara brutal. Tak heran, bila dia kini
memakai segala cara, mulai dari menyewa milisi bayaran, hingga
memberikan sogokan akan menaikkan gaji pegawai negeri sebesar 150
persen, dan memberi santunan tunai bagi keluarga yang loyal.
Mungkin karena berpengalaman menghadapi kudeta dalam negeri, Khadafi
tak takut ancaman dari negara Barat, yang menyerang Libya dengan operasi
militer. Dia pernah mengalaminya pada 1986, saat rumahnya dihajar bom
oleh jet tempur Amerika. Banyak pengikutnya, termasuk anak angkatnya,
tewas. Tapi Khadafi lolos dari maut. Dia terus melawan.
Seorang diplomat Libya, bekas penerjemah Khadafi yang kini mengajar
di AS, Abubakar Saad, juga menyarankan cara keras, bila dia tetap tak
bisa diajak kompromi. "Bila ada pemimpin tak mau berkompromi, atau
bahkan tak mau duduk, dan berdialog, satu-satunya alternatif adalah
menyingkirkan dia, membunuhnya mengakhiri situasi ini," kata Saad
seperti dikutip Voice of America.
Di gurun pasir
Khadafi besar dalam angin padang pasir yang keras. Dia lahir di suatu
tenda Badui, di gurun pasir dekat Kota Sirt, pada 1942. Dia berasal
dari suku kecil turunan Berber Arab, yaitu Khadafa.
Tumbuh saat dunia Arab sedang bergolak, Khadafi tampaknya menyerap
semua konflik itu ke jagad kecilnya. Di Palestina, konflik
berlarat-larat setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia
juga larut dalam gelora nasionalisme Arab, yang diteriakkan pemimpin
Mesir Gammal Abdul Nasser, pada 1952.
Bersekolah di madrasah setempat, Khadafi kecil telah menaruh minat
besar pada sejarah. Selesai menjalani pendidikan lanjut, Khadafi terjun
ke dunia militer. Di Libya pada saat itu, menjadi tentara adalah peluang
emas memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu. Itu sebabnya,
masuk militer adalah pilihan bagi anak-anak muda miskin seperti
Khadafi.
Pada 1961, Khadafi masuk ke akademi militer. Dia lulus lima tahun
kemudian. Dianggap punya prospek cemerlang, Khadafi terpilih ikut
pendidikan militer lanjutan selama beberapa bulan di Akademi Militer
Inggris, Sandhurst. Dia pun menerima pelatihan militer di Athena,
Yunani.
Sebagai perwira muda, Khadafi malu melihat negara Arab, yaitu Mesir,
Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada
1967. Dia kian geram, karena Raja Idris I dari Libya, hanya berpangku
tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam Perang Enam
Hari.
Khadafi lalu bertekad menggulingkan Raja Idris.
Peluang itu tiba pada 1 September 1969. Saat itu, Raja Idris sedang
ke Yunani untuk berobat. Muncul kabar, karena sering sakit-sakitan, Raja
Idris akan lengser. Dia menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya,
yang menjadi putra mahkota, Sayyid Hasan ar-Rida al-Mahdi as-Sanusi,
atau Hasan as-Sanusi.
Tanggal penyerahaan tahta dari Raja Idris kepada Pangeran Hassan
berlangsung pada 2 September 1969. Sehari sebelum ritual penyerahan
tahta, saat Idris masih di luar negeri, Khadafi bergerak. Dia
mengumumkan di radio, Libya berada di tangan Dewan Revolusi yang akan
menyelamatkan negara dari kekosongan kekuasaan.
Junta militer pimpinan Khadafi lalu menangkap kepala staf militer dan
kepala keamanan, yang setia dengan Raja Idris. Sang Raja terhenyak. Dia
tak bisa lagi pulang, hingga wafat di Mesir pada 1983.
Stasiun berita BBC menceritakan bagaimana Khadafi, perwira 27 tahun
namun telah berpangkat kolonel, secara cemerlang melakukan kudeta tak
berdarah. "Kudeta itu hanya memuntahkan beberapa peluru," tulis BBC.
Nasib calon raja yang batal, Hasan as-Sanusi lebih buruk. Dia menjadi
tahanan rumah, dan sempat dipenjara selama tiga tahun pada 1971. Hasan
dan keluarga diusir dari rumah mereka pada 1984.
Hasan harus menggelandang di pantai, hingga diserang stroke. Khadafi
mengizinkannya berobat ke London, Inggris. Hasan pun meninggal di sana.
Dia dikuburkan di sebelah makam Raja Idris, di Madinah, Arab Saudi.
Kitab Hijau
Setelah menyingkirkan kekuatan lama, pada awal
berkuasa, rezim Khadafi melakukan perubahan besar. Kerajaan Libya
dibubarkan. Dia lalu membentuk Republik Sosialis Arab, dengan nama resmi
Republik Rakyat Sosialis Agung Jamahiriya Arab Libya.
Bendera nasional pun diganti, dari gabungan warna merah, hitam, dan
hijau, dengan lambang bintang dan bulan sabit di tengah-tengah, menjadi
warna hijau polos.
Khadafi pun tak menyatakan diri sebagai presiden atau raja. Dia menabalkan dirinya seorang “brother leader”,
dan sang pemandu revolusi. Dia sempat menjabat perdana menteri selama
1970-1972. Sebagai pemimpin belia, Khadafi menunjukkan kepada bangsa
Arab, perubahan radikal sedang bergerak di Libya.
Sistem pemerintahan Libya dirombak. Menurut kajian Library of
Congress pada 1987 berjudul "Government and Politics of Libya", Libya
dipimpin dua pilar utama, yang disebut dengan sektor.
Salah satu pilar, yaitu "Sektor Revolusioner," terdiri dari Khadafi
sebagai pemimpin Revolusi, Komite Revolusi, dan Dewan Komando Revolusi,
yang beranggotakan 12 orang. Mereka inilah inti kekuasaan di Libya
karena para komite dan dewan tidak dipilih, melainkan ditunjuk, serta
tak ada masa bakti.
Pilar lain adalah “Sektor Jamahiriyah”, adalah Kongres Rakyat
mewakili 1.500 wilayah, dan 32 anggota Kongres Rakyat Sha'biyat. Mereka
dilihat sebagai lembaga legislatif. Para anggotanya dipilih setiap empat
tahun.
Sejak 1972, rezim Khadafi melarang partai politik. Media massa
nasional pun dibelenggu agar tidak "menyesatkan" rakyat dengan
pemberitaan kritis kepada pemerintah. Seperti Mao Zedong di China pada
1960an, Khadafi pada 1975 menerbitkan buku panduan ideologi bagi pejabat
dan rakyat Libya. Dia menyebutkan sebagai "Kitab Hijau" (Green Book).
Terbit dalam bahasa Arab, Kitab Hijau menjabarkan tiga paham dasar,
yaitu "Demokrasi berdasarkan Kekuasaan Rakyat," "Ekonomi Sosialisme" dan
"Teori Internasional Ketiga." Paham itu lalu menjadi panduan bagi
sistem demokrasi ala Khadafi, sekaligus panduan politik luar negeri
Libya yang mengundang kontroversi.
“Kitab Hijau” menolak demokrasi liberal ala Barat, dan mendorong
sistem demokrasi langsung berdasarkan pembentukan komite-komite rakyat.
Belakangan, sistem ini dikritik sebagai cara Khadafi mengamankan
kepentingannya di balik jargon memberdayakan rakyat Libya. [Baca juga
artikel Harta di Balik Jubah Sang Kolonel]
Sikap anti Barat-nya kental. Dia menjadi sponsor gerakan anti
imperialisme dan zionisme. Pada dekade 70an hingga 90an, Libya bahkan
menjadi kawah pelatihan bagi kelompok radikal seperti Brigade Merah dari
Jepang, "September Hitam" dari Palestina, MILF dari Filipina, dan IRA
dari Irlandia Utara.
Mimpinya tentang Arab bersatu dipengaruhi gagasan Nasser. Khadafi
berniat meneruskan Pan Arabisme yang dirintis presiden pertama Mesir
itu. Maka, dua tahun setelah Nasser wafat pada 18 September 1970,
Khadafi menggagas pendirian "Federasi Republik-republik Arab," meliputi
Libya, Mesir, dan Suriah. Tapi ide itu gagal. Dia mencoba lagi pada
1972, dengan menggandeng Tunisia, tapi usaha itu kempis.
Ironisnya, gagasan itu berlawanan dengan tabiatnya yang suka
berkelahi dengan tetangga. Misalnya, pada 1969, tak lama setelah dia
berkuasa, Libya berperang dengan Chad. Menurut Gérard Prunier, penulis
buku Darfur: a 21st century genocide, alasannya saat itu tak
masuk akal: gara-gara presiden Chad saat itu seorang Kristen, dan
berkulit hitam. Perang Libya-Chad berakhir pada 1994, melalui keputusan
Mahkamah Pengadilan Internasional.
Selain itu, Libya pun sempat baku tembak dengan Mesir selama beberapa
hari pada 1977. Soalnya, Khadafi kesal dengan manuver Presiden Mesir
saat itu, Anwar Sadat, yang berdamai dengan Israel, setelah keduanya
terlibat Perang pada Oktober 1973.
Khadafi memang anti-Israel. Dia bahkan jengkel dengan Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arrafat. Pada 1995, Khadafi
mengusir 30.000 warga Palestina dari Libya, setelah setahun sebelumnya
PLO menggelar kesepakatan damai dengan Israel.
Khadafi juga berang dengan Mesir, karena melindungi dua perwira Libya
pelaku rencana kudeta atas dirinya pada 1975. Konflik Libya-Mesir yang
berlangsung empat hari akhirnya berakhir, setelah ditengahi oleh
Aljazair.
Dengan politik yang keras seperti itu Libya di bawah Khadafi akhirnya
menjadi sorotan. Dia dibenci Barat karena mensponsori kelompok teroris.
Dia dicap menjadi rezim berbahaya, karena diketahui mengembangkan
senjata penghancur massal untuk menandingi musuhnya di Barat.
Maka, tak heran Presiden AS, Ronald Reagan, menjuluki dia sebagai
"anjing gila", yang membuat Reagan menghujani Tripoli dan Benghazi
dengan serangan bom pada 14 April 1986. Serangan itu terjadi setelah
agen-agen Libya diketahui meledakkan suatu klab malam di Berlin, Jerman,
pada 5 April 1986. Insiden itu membunuh tiga orang, dan melukai 229
lainnya - lebih dari 50 orang diantaranya tentara Amerika.
Dua tahun kemudian, terjadi tragedi peledakkan atas pesawat Pan
American yang terbang di langit Lockerbie, Skotlandia. Ratusan penumpang
dan awak pesawat tewas. Agen Libya dituduh terlibat dalam aksi keji
itu. Setelah sempat menyangkal, rezim Khadafi belakangan menerima
tanggungjawab tragedi di Lockerbie, dan bersedia membayar uang duka
kepada keluarga semua korban.
Menjadi jinak
Menurut catatan harian Telegraph, Tragedi
Lockerbie tampaknya "petualangan terakhir" Khadafi dalam terorisme
internasional. Pada dekade 1990-an, Libya mulai rujuk dengan Barat. Dia
rupanya tak tahan hidup, terisolasi, dan banyak musuh, baik dari Barat
maupun Arab.
Puncaknya pada 2003, saat Khadafi melucuti semua senjata penghancur
massal milik Libya. Sejak saat itu, hubungan Libya membaik, termasuk
dengan AS. Bahkan semasa George W. Bush berkuasa, pada 2006 AS
mengumumkan Libya tak lagi masuk daftar negara berbahaya. Proyek dan
invetasi asing pun mulai mengalir kembali ke Libya.
Hingga Februari 2011, sebenarnya tak ada lagi berita sensasional
tentang Khadafi, dan rezimnya. Dia sepertinya tak mau cari gara-gara
dengan dunia luar. Khadafi bahkan sesekali diundang ke Barat, dan
berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 2009.
Dia juga menyambangi Perdana Menteri Silvio Berlusconi di Italia pada 2010.
Khadafi pun akrab dengan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair.
Dia dikabarkan tak lagi tertarik pada nasionalisme Arab - setelah
beberapa kali gagal mewujudkan persatuan Arab. Kini, perhatiannya pada
solidarisme sesama negara Afrika. Itu sebabnya, sejumlah pemimpin Afrika
mengangkat Khadafi sebagai Ketua Uni Afrika periode 2009-2010.
Nyentrik, tapi kejam
Khadafi kini berusia 68 tahun, dan kian nyentrik. Dia, misalnya,
tinggal di tenda setiap kali berkunjung ke luar negeri, dan senang
dikelilingi banyak perempuan. Khadafi lebih suka dikawal pasukan khusus
perempuan.
Pada satu lawatan ke Italia beberapa tahun lalu, Khadafi menjamu
ratusan perempuan setempat. Dia membujuk mereka menjadi mualaf. Laman
spesialis pembocor rahasia diplomatik AS, WikiLeaks, juga mengungkapkan
Khadafi punya perawat perempuan asal Ukraina, bertubuh seksi, dan
berambut pirang.
Wartawati senior BBC, Katie Adie, selalu teringat sifat nyentrik
Khadafi. Saat bertemu untuk wawancara di Tripoli pada 1984, Khadafi
memberi Adie dua buah buku, dan satu ucapan. "Buku pertama adalah Kitab
Hijau, dan kedua adalah Kitab Suci Al Quran. Setelah itu, dia berucap
kepada saya, 'Selamat Natal'," kata Adie seperti ditulisnya di harian The Guardian.
Bagi aktivis di Libya, seperti Mohammed al-Abdalla, Khadafi adalah
diktator yang brutal. "Era 70-an, saat menghadapi gerakan mahasiswa,
Khadafi terang-terangan menggantung para mahasiswa, yang berdemonstrasi
di alun-alun Tripoli dan Benghazi," ujar al-Abdalla, sekrektaris
jenderal Front Nasional untuk Keselamatan Libya, seperti dikutip stasiun
berita Al Jazeera.
"Dia melakukan eksekusi, yang mungkin paling brutal pernah kami
saksikan, atas 1.200 tahanan di penjara Abu Salim. Mereka sudah
dipenjara, lalu dieksekusi dalam waktu kurang dari tiga jam," kata
al-Abdalla.
Kini, si kolonel tanpa urat takut, dan kadang ngawur itu, kembali
tampil brutal. Sejak 15 Februari lalu, dia menghabisi rakyat yang kini
menentangnya. Akankah dia mendengar teriakan rakyat Libya itu?
Satu bekas menterinya yang membelot, Abdul Fattah Younis al Abidi,
mengatakan Khadafi adalah pemimpin 'keras kepala'. Abidi mengenal
Khadafi sejak 1964. Dia yakin, sang kolonel akan bertindak ekstrim. "Dia
akan memilih bunuh diri, atau dibunuh," kata Abidi. (CNN, Al Jazeera,
AP, The Guardian | np)