Jumat, 24 Juni 2011

Ruyati Tumbal ‘ke-NATO-an’ Pemerintah


Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang penulis buat membuat sebagian pembaca merasa tersinggung atau penulis dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar, sekali lagi maaf.
Sebelum penulis menulis lebih lanjut ijinkan penulis untuk menghaturkan turut simpati dan duka cita kepada keluarga Ruyati binti Satubi semoga amal ibadahnya di terima di sisi-Nya dan keluarga yang di tinggalkan dapat di beri kekuatan dan ketabahan amin.
Mungkin kita masih teringat dengan pidato kebanggan Presiden Republik Indonesia di forum 100 tahun ILO pada tanggal 14 Juni lalu dimana hampir semua peserta kongres bertepuk tangan dan berdiri setelah Presiden Beye memberikan sambutannya dimana Beye mengajak dunia untuk melindungi dan memperhatikan para pekerja termasuk kesejahteraannya.
Tetapi pidato itu kini hanya sekedar pidato atau pepesan kosong karena empat hari berselang setelah pidato penuh heroik tersebut karena Indonesia menjadi tamu dari Asia pertama yang diberikan hak untuk berbicara dalam forum ILO tersebut.
Pepesan kosong pidato itu datang dari kawasan Saudi Arabia dimana pada hari Sabtu waktu Saudi ada seorang wanita Indonesia yang harus terpancung dengan pedang karena kasus pembunuhan yang ia lakukan karena pembelaan diri, dan kabarnya Indonesia baru tahu eksekusi ini dari media bukan langsung dari Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Akibat eksekusi ini banyak pihak yang mengecam baik itu mengecam kepada tindakan pemerintah Kerajaan Saudi dan juga pemerintah sendiri karena lalai dalam melindungi warganya.
Pertanyaan sekarang adalah ketika ada kasus eksekusi pancung terhadap WNI ini kemana para bapak dan ibu terutama Atase Tenaga Kerja yang ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan juga Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah dan apa kerja mereka di sana kok bisa sampai ada nyawa WNI terpancung di Saudi?
Mungkin dari kita semua tahu bagaimana kerja daripada para diplomat kita di luar sana, stigma yang beredar selama ini adalah orang yang bekerja di perwakilan negara adalah orang-orang yang ketika berada di tanah air bermasalah dengan pekerjaannya sehingga untuk menyegarkan mereka salah satunya di mutasikan ke luar lantas apakah dengan mutasi ini membuat mereka tidak bekerja dengan maksimal untuk negara?
Ketika penulis melihat, membaca kasus ini sebenarnya iri dengan kehidupan warga asal Philipina dan Amerika Serikat, kenapa penulis mengatakan iri? Philipina dan Indonesia adalah sama-sama negara dengan kantong pengiriman Tenaga Kerja paling banyak di dunia tetapi pernahkah kita mendengar dan melihat ada satu Tenaga Kerja Philipina yang terkena kasus sampai di pancung seperti Ruyati? jawabnya tidak ! karena Pemerintah Philipina dari awal sudah mengeluarkan kebijakan atau semacam ancaman kepada negara-negara yang meminta tenaga kerja Philipina untuk menjaganya baik-baik warganya jika ada warganya yang bermasalah maka Pemerintah Philipina tidak segan-segan untuk memutuskan hubungan diplomatik (persona non grata) kepada negara pemasok tersebut, sangat beda sekali dengan negara kita yang jelas-jelas para majikan tersebut yang bermasalah tetapi kita diam saja bahkan merangkul orang-orang dari kawasan jazirah tersebut untuk menanamkan Realnya di negara ini termasuk mempersilahkan menikmati halusnya kulit wanita Indonesia setiap bulan tertentu.
Dan kenapa penulis iri juga dengan sikap perlindungan warga yang diterapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat? Mungkin kita akan terus berpikir kenapa militer kita tidak berkembang setelah kasus penembakan warga sipil di sekitar mil 32 kawasan Freeport Papua beberapa tahun lalu, karena pemerintah AS tidak mau peralatan militer yang mereka buat akan digunakan untuk membunuh rakyatnya sendiri makanya kita sampai sekarang tidak bisa mendapatkan peralatan tempur dan militer yang terbaru dari Amerika, dan juga Pemerintah AS pun selalu siap ketika rakyatnya memerlukan bantuan seperti kasus penyanderaan kapal oleh perompak Somalia, dalam waktu kurang dari 24 jam Presiden AS memerintahkan team khusus untuk segera membebaskan warganya dari kepungan perompak sedangkan negara kita butuh 45 hari untuk membebaskan rakyatnya!
Semoga kedepannya tidak ada lagi Ruyati-Ruyati lagi yang harus terpancung hidupnya di ujung pedang walaupun saat ini masih ada 303 warga negara Indonesia yang menunggu untuk di pancung salah satunya Darsem, saatnya Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan WNI, 118 perwakilan Republik Indonesia di dunia terutama atase tenaga kerja di negara-negara kantong TKI/W untuk lebih aktif lagi dalam menjaga dan melindungi warga negaranya terlepas para TKI/W ini bermasalah atau tidak tetapi tetap intinya adalah mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki KTP, Pasport berlambang burung garuda, tiap tahun membayar pajak dan tidak ada lagi kata-kata atau release berita bahwa KBRI atau KJRI tidak tahu atau pejabat seperti Menteri Hukum dan HAM yang mengeluarkan kata-kata kalau TKI/W bermasalah maka pemerintah lah yang harus di salahkan padahal para pejabat ini tidak tahu kalau dana yang di bawah dan di kirim TKI ke keluarganya melebihi jumlah APBN yang di keluarkan oleh negara dalam satu tahun kerja pemerintah!  (Ivan Lorcarz*)
(*Penulis pernah menjadi pemantau independent pemilu Migran Care – pendapat pribadi)

Sumber

Photobucket
Free Counter
Photobucket