Seperti
menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu
menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang
penulis buat membuat sebagian pembaca merasa tersinggung atau penulis
dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari
pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar,
sekali lagi maaf.
Sebelum penulis menulis lebih lanjut ijinkan penulis untuk
menghaturkan turut simpati dan duka cita kepada keluarga Ruyati binti
Satubi semoga amal ibadahnya di terima di sisi-Nya dan keluarga yang di
tinggalkan dapat di beri kekuatan dan ketabahan amin.
Mungkin kita masih teringat dengan pidato kebanggan Presiden
Republik Indonesia di forum 100 tahun ILO pada tanggal 14 Juni lalu
dimana hampir semua peserta kongres bertepuk tangan dan berdiri setelah
Presiden Beye memberikan sambutannya dimana Beye mengajak dunia untuk
melindungi dan memperhatikan para pekerja termasuk kesejahteraannya.
Tetapi pidato itu kini hanya sekedar pidato atau pepesan kosong
karena empat hari berselang setelah pidato penuh heroik tersebut karena
Indonesia menjadi tamu dari Asia pertama yang diberikan hak untuk
berbicara dalam forum ILO tersebut.
Pepesan kosong pidato itu datang dari kawasan Saudi Arabia dimana
pada hari Sabtu waktu Saudi ada seorang wanita Indonesia yang harus
terpancung dengan pedang karena kasus pembunuhan yang ia lakukan karena
pembelaan diri, dan kabarnya Indonesia baru tahu eksekusi ini dari
media bukan langsung dari Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Akibat eksekusi ini banyak pihak yang mengecam baik itu mengecam
kepada tindakan pemerintah Kerajaan Saudi dan juga pemerintah sendiri
karena lalai dalam melindungi warganya.
Pertanyaan sekarang adalah ketika ada kasus eksekusi pancung terhadap
WNI ini kemana para bapak dan ibu terutama Atase Tenaga Kerja yang ada
di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan juga Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Jeddah dan apa kerja mereka di sana kok
bisa sampai ada nyawa WNI terpancung di Saudi?
Mungkin dari kita semua tahu bagaimana kerja daripada para diplomat
kita di luar sana, stigma yang beredar selama ini adalah orang yang
bekerja di perwakilan negara adalah orang-orang yang ketika berada di
tanah air bermasalah dengan pekerjaannya sehingga untuk menyegarkan
mereka salah satunya di mutasikan ke luar lantas apakah dengan mutasi
ini membuat mereka tidak bekerja dengan maksimal untuk negara?
Ketika penulis melihat, membaca kasus ini sebenarnya iri dengan
kehidupan warga asal Philipina dan Amerika Serikat, kenapa penulis
mengatakan iri? Philipina dan Indonesia adalah sama-sama negara dengan
kantong pengiriman Tenaga Kerja paling banyak di dunia tetapi pernahkah
kita mendengar dan melihat ada satu Tenaga Kerja Philipina yang terkena
kasus sampai di pancung seperti Ruyati? jawabnya tidak ! karena
Pemerintah Philipina dari awal sudah mengeluarkan kebijakan atau semacam
ancaman kepada negara-negara yang meminta tenaga kerja Philipina untuk
menjaganya baik-baik warganya jika ada warganya yang bermasalah maka
Pemerintah Philipina tidak segan-segan untuk memutuskan hubungan
diplomatik (persona non grata) kepada negara pemasok tersebut,
sangat beda sekali dengan negara kita yang jelas-jelas para majikan
tersebut yang bermasalah tetapi kita diam saja bahkan merangkul
orang-orang dari kawasan jazirah tersebut untuk menanamkan Realnya di
negara ini termasuk mempersilahkan menikmati halusnya kulit wanita
Indonesia setiap bulan tertentu.
Dan kenapa penulis iri juga dengan sikap perlindungan warga yang
diterapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat? Mungkin kita akan terus
berpikir kenapa militer kita tidak berkembang setelah kasus penembakan
warga sipil di sekitar mil 32 kawasan Freeport Papua beberapa tahun
lalu, karena pemerintah AS tidak mau peralatan militer yang mereka buat
akan digunakan untuk membunuh rakyatnya sendiri makanya kita sampai
sekarang tidak bisa mendapatkan peralatan tempur dan militer yang
terbaru dari Amerika, dan juga Pemerintah AS pun selalu siap ketika
rakyatnya memerlukan bantuan seperti kasus penyanderaan kapal oleh
perompak Somalia, dalam waktu kurang dari 24 jam Presiden AS
memerintahkan team khusus untuk segera membebaskan warganya dari
kepungan perompak sedangkan negara kita butuh 45 hari untuk membebaskan
rakyatnya!
Semoga kedepannya tidak ada lagi Ruyati-Ruyati lagi yang harus
terpancung hidupnya di ujung pedang walaupun saat ini masih ada 303
warga negara Indonesia yang menunggu untuk di pancung salah satunya
Darsem, saatnya Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat
Jenderal Perlindungan WNI, 118 perwakilan Republik Indonesia di dunia
terutama atase tenaga kerja di negara-negara kantong TKI/W untuk lebih
aktif lagi dalam menjaga dan melindungi warga negaranya terlepas para
TKI/W ini bermasalah atau tidak tetapi tetap intinya adalah mereka
adalah warga negara Indonesia yang memiliki KTP, Pasport berlambang
burung garuda, tiap tahun membayar pajak dan tidak ada lagi kata-kata
atau release berita bahwa KBRI atau KJRI tidak tahu atau pejabat
seperti Menteri Hukum dan HAM yang mengeluarkan kata-kata kalau TKI/W
bermasalah maka pemerintah lah yang harus di salahkan padahal para
pejabat ini tidak tahu kalau dana yang di bawah dan di kirim TKI ke
keluarganya melebihi jumlah APBN yang di keluarkan oleh negara dalam
satu tahun kerja pemerintah! (Ivan Lorcarz*)
(*Penulis pernah menjadi pemantau independent pemilu Migran Care – pendapat pribadi)
Sumber