Frans Soemarto Mendoer
Fotografi memang bukan hanya menjadi saksi sejarah, tapi juga
menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa-peristiwa yang
melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan
disadarkan tentang suatu hal. Frans Soemarto Mendoer sangat memahami hal
tersebut. Karena itulah, setelah mendapat kabar dari seorang sumber di
harian Jepang Asia Raya bahwa akan ada kejadian penting di rumah
kediaman Soekarno, Frans langsung bergerak menuju rumah bernomor 56 di
Jalan Pegangsaan Timur itu sambil membawa kamera Leica-nya. Dan benar,
pagi itu, Jumat, 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa penting berlangsung
di sana: pembacaan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh
Soekarno.
Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi dari
peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Yang
pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi. Yang kedua, adegan
pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat,
salah seorang anggota PETA. Dan yang ketiga, suasana ramainya para
pemuda yang turut menyaksikan pengibaran bendera. Setelah menyelesaikan
tugas jurnalisnya itu, Frans langsung bergegas meninggalkan rumah
kediaman Soekarno karena menyadari bahwa tentara Jepang tengah
memburunya.
Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu
karena Alex Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat
memotret prosesi bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas
oleh tentara Jepang.
Dan sewaktu tentara Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto
Soekarno yang sedang membacakan teks proklamasi, Frans mengaku film
negatif itu sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto
peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan dengan cara menguburnya
di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia
Raya. Kalau saja saat itu negatif film tersebut dirampas tentara Jepang,
maka mungkin generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan
tahu seperti apa peristiwa sakral tersebut.
Bahkan, mengenai kehadiran Frans di rumah Soekarno pada waktu itu,
wartawan senior Alwi Shahab menulis “Andaikata tidak ada Frans Mendoer,
maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa
proklamasi kemerdekaan…” Tulisan itu dimuat di harian Republika edisi
Minggu, 14 Agustus 2005, tiga hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-60.
Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena
dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara
diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati
pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk
bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut.
Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka
akan dipenjara, bahkan dihukum mati.
Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali
dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari
setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu
sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film
itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara
yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara
mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang
dimiliki Antara lalu membakarnya. (Sumber)
Rabu, 17 Agustus 2011
Whint Sanagi