Ada
yang berbeda di Pondok Pesantren “Senin-Kamis” di Kampung Notoyudan,
Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jika selama ini pesantren identik dengan penerapan aturan
secara ketat berupa pembatasan pergaulan laki-laki dan perempuan, maka
pesantren ini seakan tidak mempermasalahkan jenis kelamin.
Pondok
Pesantren Senin-Kamis memang unik. Ini pesantren khusus waria. Karena
itu santri pun dibebaskan untuk “memilih” menjadi laki-laki atau
perempuan, termasuk dalam hal beribadah.
“Di
sini disediakan kain sarung dan mukena untuk salat. Terserah mereka,
nyamannya beribadah pakai apa, bebas,” kata Mariani, waria pemilik
Pondok Pesantren, saat berbincang di pesantren yang juga menjadi tempat
tinggalnya.
Berawal
dari hanya dihuni 10 orang waria, pesantren ini didirikan pertama kali
pada Juli 2008 lalu. Saat ini sudah 25 waria yang bergabung untuk
menjadi santri.
“Di
sini kami mengajarkan teman-teman untuk beribadah,” tutur Mariani.
“Orang beribadah itu kan untuk mencari surga. Untuk mencari surga tak
terbatas jenis kelamin dan pakaian. Yang bisa dijamin masuk surga itu
adalah yang bertakwa pada Allah SWT,” katanya.
Mariani,
waria berumur 51 tahun yang sehari-hari memakai baju kurung dan
berkerudung, menjelaskan waria yang belajar beribadah di pesantrennya
berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Medan, Padang, Mataram,
Surabaya, Tasikmalaya, dan Yogyakarta sendiri. Mereka semua kos di Kota
Gudeg.
“Terdapat 225 waria yang ada di DIY, namun yang terdaftar di Ikatan Waria Yogyakarta 120 orang,” dia menjelaskan.
Sehari-hari,
para waria tersebut berprofesi macam-macam: ada yang mengamen, ada yang
punya usaha sendiri, bekerja di LSM, bekerja di salon, dan lainnya.
“Biaya
pondok pesantren ini dari biaya saya sendiri, yaitu dari salon. Jadi,
tidak ada bantuan dari mana-mana,” katanya. Salon itu terletak di dalam
areal pondok pesantren.
Mariani
mengaku masih menemui kesulitan mengajak teman-temannya sesama waria
untuk beribadah di pesantrennya. “Waria itu kalau diajak beribadah
sulit,” dia mengeluh. “Di sini tidak ada paksaan dan tidak dipungut
biaya sepersen pun.”
Meski
demikian, katanya bangga, banyak dari mereka yang belajar di pesantren
ini sekarang sudah tidak keluyuran malam lagi. “Sekarang mereka sudah
pada bisa rias pengantin keliling. (Sumber)