Ngatiyem,
Dalimin, Suparno, Tukiyem, Katimin, Wagiman, Suripto, Suyatni, Sitinah,
Masduki, Tukijo, Ratnasih, Harjo, Slamet, Paijo, Paimin, Tukijan,
Mas'ud, dan lain-lain
Nama-nama jawa tradisional ini terancam punah akibat penurunan gengsi.
Bagi
sebagian orang memiliki nama lokal kedaerahan seperti di atas ada
sesuatu yang memalukan pada zaman sekarang ini. Era globalisasi yang
serba canggih ini menggeser trend penamaan anak pada nama-nama yang
dianggap lebih modern dan berbau luar negeri.
Nama-nama
seperti rahul, fran, jessi, reynaldi, mike, michael, jason, ruben,
angelina, vijay, james, ricky, billy, greg, john, stefani, julia,
ronaldo, peruzzi, mancini bagi sebagian orang adalah nama-nama yang
keren dan oke punya. Orang yang memiliki nama Elizabeth mungkin akan
dianggap lebih cantik daripada Siti Suparwati walaupun kenyataannya
belum tentu demikian.
Banyak
orang pun kini kian mengejek nama-nama tradisional dengan sebutan
katro, ndeso, kuno, miskin, dan lain-lain. Sepertinya orang yang dinamai
nama jawa tradisional akan jadi orang susah, miskin, berwajah jelek,
dan sebagainya.
Seharusnya
kita bangga pada budaya nasional kita termasuk pada nama. Nama tidak
mencerminkan kualitas seseorang karena seseorang yang namanya Sumanto
bisa saja menjadi seorang profesor dan seorang yang bernama Frans bisa
saja berprofesi sebagai buruh angkut karung beras di pasar tradisional.
Bagi yang memiliki nama yang bagi bayak orang nama kita jelek dan katro
maka bangkitlah dan tunjukan pada mereka bahwa nama yang dianggap jelek
orangnya bisa lebih keren, maju dan profesional daripada yang punya nama
yang dianggap trendy.