Bahasa di tanah Papua, termasuk Papua Nugini hampir punah karena penutur
asli yang rata-rata adalah orang tua meninggal. Universitas Oxford pun
merekam tutur bahasa para penutur asli itu di Papua, salah satunya
bahasa Dusner.
Universitas Oxford pun berkejaran dengan waktu untuk merekam 3 penutur asli bahasa Dusner yang tersisa di Papua, yaitu Emma (85), Enos (60) dan Anna (60) seperti dilansir AFP, Kamis (21/7/2011).
Menurut Wikipedia, bahasa Dusner adalah bahasa yang berkembang di Teluk Wondama dan Teluk Cenderawasih, Papua, Indonesia dan memang terancam punah karena hanya menyisakan 3 penutur asli.
Sementara antropolog asal Universitas Cenderawasih (Uncen) Yoseph Wally mengatakan dia tetap membuka telinganya lebar-lebar saat mengunjungi desa-desa di mana bahasa lokal Papua digunakan.
"Dari hari ke hari adalah Bahasa Indonesia (yang digunakan). Hanya orang-orang tua saja yang berbicara dialek lokal," ujar Wally.
Di beberapa desa yang dia kunjungi, bahkan ditemukan tidak seorang pun yang bisa mengerti bahasa daerahnya. "Beberapa bahasa menghilang dengan cepat, seperti Muris, yang dituturkan di sekitar sini (Jayapura) sampai 15 tahun lalu," imbuhnya.
Namun Wally optimis, punahnya bahasa lokal Papua itu bisa diantisipasi dengan dikembangkannya seni dan bahasa. Apalagi orang Papua suka menyanyi dan menggelar perayaan, yang mengharuskan mereka memakai bahasa daerah.
"Dengan cara ini kaum muda akan menemukan arti dari bahasa daerah yang mereka nyanyikan," kata Wally.
Sementara penduduk Jayapura, Habel M Suwae mengatakan di dalam kota bahkan di hutan, bahasa Indonesia menjadi bahasa utama untuk warga di bawah 40 tahun, "Bahasa daerah digunakan untuk perayaan dan festival".
Universitas Oxford pun berkejaran dengan waktu untuk merekam 3 penutur asli bahasa Dusner yang tersisa di Papua, yaitu Emma (85), Enos (60) dan Anna (60) seperti dilansir AFP, Kamis (21/7/2011).
Menurut Wikipedia, bahasa Dusner adalah bahasa yang berkembang di Teluk Wondama dan Teluk Cenderawasih, Papua, Indonesia dan memang terancam punah karena hanya menyisakan 3 penutur asli.
Sementara antropolog asal Universitas Cenderawasih (Uncen) Yoseph Wally mengatakan dia tetap membuka telinganya lebar-lebar saat mengunjungi desa-desa di mana bahasa lokal Papua digunakan.
"Dari hari ke hari adalah Bahasa Indonesia (yang digunakan). Hanya orang-orang tua saja yang berbicara dialek lokal," ujar Wally.
Di beberapa desa yang dia kunjungi, bahkan ditemukan tidak seorang pun yang bisa mengerti bahasa daerahnya. "Beberapa bahasa menghilang dengan cepat, seperti Muris, yang dituturkan di sekitar sini (Jayapura) sampai 15 tahun lalu," imbuhnya.
Namun Wally optimis, punahnya bahasa lokal Papua itu bisa diantisipasi dengan dikembangkannya seni dan bahasa. Apalagi orang Papua suka menyanyi dan menggelar perayaan, yang mengharuskan mereka memakai bahasa daerah.
"Dengan cara ini kaum muda akan menemukan arti dari bahasa daerah yang mereka nyanyikan," kata Wally.
Sementara penduduk Jayapura, Habel M Suwae mengatakan di dalam kota bahkan di hutan, bahasa Indonesia menjadi bahasa utama untuk warga di bawah 40 tahun, "Bahasa daerah digunakan untuk perayaan dan festival".
Tanah Papua, Papua-Indonesia dan Papua Nugini, merupakan tempat lebih dari 1.000 bahasa daerah berkembang, sekitar 800 jenis bahasa di Papua Nugini dan 200 jenis di Papua-Indonesia. Namun sebagian dari bahasa daerah itu memiliki penutur kurang dari 1.000 orang yang kebanyakan tinggal di desa-desa.
"Setiap seseorang mati, bagian kecil dari bahasa itu mati pula, karena
hanya orang-orang tua yang menggunakannya," ujar Nico, kurator museum
Uncen.
Pihak berwenang kadang-kadang dituduh tidak bertindak atau bahkan mendukung bahasa resmi untuk lebih mengintegrasikan penduduk, khususnya di Papua, Indonesia.
Namun menurut penasihat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, tidak peduli apa tindakan yang diambil untuk mempromosikan bahasa daerah di sekolah, "Adalah hampir mustahil untuk melestarikan bahasa jika tidak lagi digunakan di kehidupan sehari-hari".
Pihak berwenang kadang-kadang dituduh tidak bertindak atau bahkan mendukung bahasa resmi untuk lebih mengintegrasikan penduduk, khususnya di Papua, Indonesia.
Namun menurut penasihat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, tidak peduli apa tindakan yang diambil untuk mempromosikan bahasa daerah di sekolah, "Adalah hampir mustahil untuk melestarikan bahasa jika tidak lagi digunakan di kehidupan sehari-hari".
[sumber]