Tak
ada yang salah dengan judul di atas. Tak salah juga jika pikiran Anda
langsung terhubung dengan tagline Bung Karno yang sudah telanjur
populer itu, ”Ganyang Malaysia”.
Apalagi seruan ”Ganyang
Malaysia” masih menyisakan gemanya setelah keriuhan yang terjadi di
publik Indonesia setelah insiden di Tanjung Berakit, Kepulauan Riau
(Kepri), 13 Agustus lalu. Dan, kita semua tahu, tensi hubungan
Indonesia-Malaysia saat itu sempat hangat-hangat tahi ayam.
Toh,
”Ganyang Malaysia” agaknya memang berhenti pada tagline belaka. Tak
lebih dari itu. Namun, percayakah Anda bahwa pada kenyataannya,
pengganyangan justru terjadi terhadap bangsa Indonesia?
Pengganyangan
itu berlangsung tanpa tagline dan dilakukan selama ini dalam operasi
sunyi senyap. Wajar kemudian jika kita semua tak merasa sedang
diganyang.
Penyelundupan barang! Inilah pengganyangan terhadap Indonesia, inilah pengganyangan yang sesungguhnya.
Setiap
tahun, barang selundupan menyerbu Indonesia lewat Kepri, provinsi yang
berbatasan langsung dengan wilayah perairan Malaysia, Singapura,
Vietnam, dan Kamboja. Sebagian dilakukan dengan cara bergerilya,
sebagian lagi terang-terangan. Ada yang diperdagangkan di Kepri, ada
juga yang menjalar ke luar Kepri, termasuk sampai ke Pulau Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Lombok.
Jenis barangnya
beragam, mulai dari perabot rumah tangga, barang elektronik, peralatan
kantor, mainan anak, peralatan kebugaran, berbagai jenis barang
konsumsi, sampai beragam barang bekas. Dan, jangan salah, narkoba
menjadi salah satu primadona di antara barang selundupan tersebut.
Dalam
hal ini, ada beberapa jenis barang selundupan yang nilai strategisnya
perlu lebih dicermati. Barang itu adalah beras, makanan olahan, pakaian
bekas, dan narkoba. Mengacu kebijakan umum Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, beras dan makanan
olahan termasuk barang impor yang tata niaganya diatur. Di sisi lain,
produk narkoba dan pakaian bekas jelas terlarang untuk diimpor.
Via Malaysia
Pada
awal Agustus lalu, Badan Karantina Kementerian Pertanian mengungkap
adanya penyelundupan 1.400 ton beras asal Vietnam ke Kepri. Di Batam,
sebagian beras yang telah dikemas ulang itu beredar dengan merek AAA
dan 555. Harganya sekitar Rp 6.000 per kilogram (kg) atau lebih murah
dibandingkan dengan beras dari Pulau Jawa dengan kualitas sama yang
saat itu harganya Rp 6.600 per kg.
Menurut Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam Ahmad Hijazi, tidak tertutup
kemungkinan beras selundupan itu juga didistribusikan ke luar Batam,
bisa ke mana saja selama ada disparitas harga.
Dan, memang
secara empiris, penyelundupan marak terjadi antarwilayah atau negara
yang mengalami disparitas harga atas produk yang relatif sama. Konsumen
tidak peduli dari mana asal barang, yang penting harga dan kualitas
terjamin.
Lepas dari itu, beberapa hari sebelumnya di Batam,
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata mengungkapkan penemuan
penyelundupan pakaian bekas ke Indonesia. Pakaian tersebut buatan
Korea, Hongkong, China, Jepang, dan Malaysia.
Jalur
penyelundupannya mayoritas lewat Malaysia yang memang tidak
mempersoalkan semua itu selagi tidak diperjual-belikan di negara
tersebut.
Selama dua tahun terakhir, tren penyelundupan pakaian
bekas meningkat dengan target pemasaran ke kota-kota besar, seperti
Batam, Makassar, Surabaya, Banyuwangi, dan Cirebon. Pada 2009,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengungkap 18 kasus usaha
penyelundupan. Barang bukti setiap kasus rata-rata 1.500 karung sampai
2.000 karung atau sebanyak 450.000 potong sampai 600.000 potong.
Sementara
pada 2010, sampai dengan awal Agustus saja, total barang bukti yang
disita DJBC sekitar 15.000 karung atau 4,5 juta potong. Itu artinya,
usaha menyelundupkan pakaian bekas ke Indonesia tahun ini naik hampir
sepuluh kali lipat dalam segi kuantitas dibandingkan dengan 2009.
Baru-baru
ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Batam mengeluarkan data
yang menunjukkan masifnya penyelundupan makanan olahan kemasan,
obat-obatan, dan kosmetik. Tahun ini sampai dengan Juli, minimal 1.373
item produk ilegal beredar di pasar. Tahun lalu, sedikitnya 4.024 item
produk ilegal beredar di pasar. Peredarannya disinyalir juga sampai ke
luar Kepri.
Produk itu berasal dari Malaysia, Singapura,
Thailand, China, dan Vietnam. Digolongkan ilegal atau selundupan karena
tidak terdaftar di BPOM. Dalam beberapa operasi, ditemukan modus
pemalsuan izin edar.
”Badan POM ini seperti pemadam kebakaran
saja akhirnya, semprot sana, semprot sini. Selagi hulunya tidak
disumbat, hal ini akan terus berlanjut,” kata Kepala BPOM di Batam I
Gde Nyoman Suandi. Kurir narkoba
Upaya penyelundupan narkoba
tak kalah marak. Setidaknya ada 11 kali usaha penyelundupan ke Batam
yang digagalkan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam mulai
Januari sampai Agustus. Dari kejadian ini bisa dibaca, telah terjadi
usaha penyelundupan narkoba minimal sebulan sekali. Ini belum termasuk
data dari kepolisian.
Setiap kurir biasanya membawa narkoba
dengan nilai mencapai miliaran rupiah. Kurir ini sebagian besar datang
dari Malaysia dan selebihnya dari Singapura. Di samping diedarkan di
Batam, narkoba juga didistribusikan ke kota-kota besar di Indonesia,
seperti Jakarta dan Medan.
Kepala Badan Narkotika Nasional
Gories Mere dalam jumpa pers di Kota Batam, Selasa (21/9), menyatakan,
ekstasi dan sabu menjadi jenis narkoba yang tren diselundupkan ke
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Barang tersebut sebagian
besar diproduksi di China, Hongkong, India, dan Iran.
Indonesia,
menurut Gories, menjadi pasar yang menggiurkan karena margin yang
sangat besar. Harga sabu di Iran pada awal tahun ini senilai Rp 100
juta per kilogram (kg). Terakhir, harganya turun menjadi Rp 50 juta per
kg. Sementara di Indonesia, harganya mencapai Rp 2 miliar per kg.
Melihat
kondisi geografis Kepri yang berupa kepulauan, demikian pula Indonesia
secara keseluruhan, jalur penyelundupan bisa di mana saja. Sementara
pintu yang relatif terawasi ketat hanya di pelabuhan resmi dan bandar
udara saja. Pelabuhan tikus
Semisal di Batam, terdapat lima
pintu masuk kepabeanan, meliputi empat pelabuhan resmi dan satu bandar
udara. Sementara pelabuhan tikusnya dikabarkan lebih dari 20 lokasi.
Bongkar muat pun bisa dilakukan di tengah laut sehingga tak mudah
dideteksi petugas.
Artinya, data penyelundupan yang berhasil
digagalkan di atas tidak serta-merta menunjukkan penyelundupan menjadi
gembos. Data tersebut justru bisa dibaca sebaliknya; serbuan barang
selundupan masih merajalela. Bahkan, terbuka kemungkinan, barang
selundupan yang lolos dan beredar di Indonesia lebih banyak daripada
yang digagalkan.
Namun, kunci pintu masuk sebenarnya berada di
tangan aparat. Sebagaimana diungkapkan Komandan Kapal Patroli Bea dan
Cukai 10002 Suhaimi (52), penyelundupan marak dan sulit dibasmi justru
karena ada aparat yang ikut bermain. Dalam bahasa premannya, aparat
jadi backing.
Selama 30 tahun berpatroli, Suhaimi acap kali
memergoki penyelundupan dengan pengawalan aparat bersenjata. Kalaupun
tidak dengan pengawalan, minimal penyelundupan membawa ”restu” dari
aparat.
”Kalau semua aparat kompak dan jujur, sebenarnya penyelundupan bisa dicegah, minimal yang besar-besar,” kata Suhaimi.
Penyelundupan
bukan semata persoalan kerugian negara dari sisi pendapatan bea dan
cukai. Penyelundupan adalah gelombang pengganyangan terhadap rakyat
Indonesia, pelan tetapi pasti.
Kalau beras selundupan terus
menyusupi Indonesia, apa jadinya dengan nasib petani dan keluarganya.
Kalau pakaian bekas selundupan tak henti merambah kota-kota Indonesia,
apa jadinya dengan industri garmen nasional berikut jutaan buruhnya.
Generasi dalam bahaya
Kalau
makanan, obat-obatan, dan kosmetik selundupan menjalar ke mana-mana,
bagaimana dengan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia. Dan, kalau
narkoba terus merdeka bergerilya, bagaimana dengan masa depan generasi
muda bangsa Indonesia.
Sesederhana itu, penyelundupan menggempur dan melumpuhkan Indonesia. Tanpa keriuhan dan tagline, Ganyang Indonesia!
Sumber : http://id.news.yahoo.com/kmps/20101017/twl-bahaya-ganyang-indonesia-70701a2.html