24
profesor Se-Sulsel yang tergabung dalam Asosiasi Profesor Indonesia
(API) berkumpul dan menggelar diskusi terbatas mengenai demokrasi.
Seperti apa jalannya diskusi tersebut? Prof Dr Anwar Arifin membuka
diskusi dengan makalahnya yang mengangkat tema "Demokrasi di Indonesia,
Bibit Unggul yang Merana". Dari temanya saja, tampak jelas mantan
politisi Senayan ini kecewa dengan praktek demokrasi di Indonesia dewasa
ini.
"Sebenarnya,
apa itu demokrasi? Demokrasi itu bola liar. Tak ada defenisi yang
pasti. Sebab tiap-tiap negara punya persepsi sendiri tentang demokrasi,"
katanya.
Yang
berkembang di Indonesia, lanjut Prof Anwar, demokrasi diartikan sebagai
pemilihan langsung. Prof Anwar yang punya pengalaman di Senayan selama
lima tahun ini membeberkan betapa demokrasi di Indonesia justru telah
membuat tatanan politik dan ekonomi masyarakat berubah menjadi sekuler.
Dia
mengingatkan, demokrasi yang diadopsi dari dunia Barat dibangun atas
dasar rasionalitas, humanis, dan eligiter. Dari situ terciptalah
kelompok-kelompok kepentingan yang menonjol baik secara ekonomi maupun
sosial. Demokrasi pun dijadikan sistem agar aspirasi kelompok-kelompok
ini bisa tersalurkan melalui keterwakilan.
"Karena
itu, kelompok-kelompok inilah yang membiayai kampanye calon wakilnya.
Supaya kelak jika terpilih, wakilnya itu bisa melindungi
kepentingannya," jelasnya.
Sementara
Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan seperti di Barat itu justru
tidak tumbuh. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih menonjolkan aspek
kekeluargaan, kesukuan, kedaerahan, dan agama atau primordial dalam
sebutan politiknya. Demokrasi yang diartikan pemilihan langsung di
negeri ini, dianggap masyarakat bukan sebagai kepentingan mereka.
Melainkan kepentingan para elite.
"Karena
merasa bukan kepentingannya, maka mereka berasumsi yang ikut pemilihan
lah yang punya kepentingan. Sehingga kandidat lah yang harus membeli
suara mereka," tambahnya.
Makanya,
money politic tidak sepenuhnya menjadi kesalahan para kandidat. Namun
juga dari kalangan akar rumput sendiri. Mereka yang terpilih akhirnya
tidak pernah jelas keberpihakannya. Bukti konkretnya, kata Prof Anwar,
tak ada partai yang benar-benar konsen dalam membela kepentingan petani
meski di negeri ini berpenduduk lebih 80 persen petani. Yang banyak
adalah partai yang mengatasnamakan petani.
"China
itu negara komunis. Tapi mereka jelas memperjuangkan kepentingan
petani. Di Eropa, keterwakilan buruh di parlemen juga sangat nyata.
Bahkan, di Malaysia, Melayu dan Islam menjadi prioritas. Di Indonesia,
mana ada partai yang benar-benar fokus membela petani. Malah yang ada
perwakilannya adalah artis," kritiknya.
Selama
Indonesia merdeka, sistem demokrasi belum menunjukkan hasil yang
benar-benar memuaskan. Padahal sistem demokrasi diharapkan bisa membawa
masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera. Kenyataannya, kemiskinan dan
penderitaan masih ada di mana-mana. Itu belum ditambah dengan ulah elite
yang memporak-poranda sendi-sendi politik, ekonomi, dan hukum di negeri
ini.
"Dari
seluruh negara berpenduduk muslim yang ada di dunia, hanya Indonesia
dan Pakistan yang menganut demokrasi. Lebih banyak yang menganut sistem
kerajaan seperti di Malaysia," tuturnya. Merujuk dari kondisi Indonesia
dewasa ini, Prof Anwar pun menduga sistem demokrasi yang diadopsi dari
Barat itu tidak cocok untuk Indonesia. "Dalam dunia kedokteran, organ
yang cangkok bisa membuat tubuh semakin parah," tandasnya.
Setali
tiga uang, panelis lainnya, Prof Dr Armin Arsyad, juga mencibir praktik
demokrasi di Indonesia. Dalam tataran teori, kata Prof Armin, demokrasi
memiliki sejumlah keunggulan antara lain memberi kesempatan yang sama
untuk memperoleh akses politik, ekonomi dan hukum, rule of the game,
toleransi terhadap perbedaan, serta kelas menengah yang kuat.
"Tapi
di Indonesia, praktik demokrasi justru membuat masyarakat merana,"
katanya. Akses politik, ekonomi, dan hukum dalam kenyataannya hanya
dimiliki oleh kaum elite. Peraturan yang seharusnya menjadi landasan
bersama pun tidak ada artinya. Buktinya, nyaris seluruh pemilihan
langsung berujung konflik. Toleransi atas perbedaan juga belum
sepenuhnya terwujud di negara ini.
Yang
nyaris tidak ada, kata Prof Armin, adalah kelompok kelas menengah yang
kuat. Kelompok yang dimaksud ini adalah orang-orang yang secara ekonomi
mampu berpenghasilan Rp10 juta per bulan dan bukan berasal dari
pemerintah.
"Banyak
orang kaya yang penghasilannya Rp10 juta ke atas. Tapi sumbernya dari
pemerintah, dari proyek-proyek. Mereka sangat bergantung dengan
pemerintah. Sedangkan kelompok kelas menengah yang kuat itu, pasti tidak
akan terpengaruh dengan sogokan. Sayangnya, jumlah mereka teramat
sedikit," jelasnya.
"Dari
sini timbul pertanyaan, apakah kedua panelis menyatakan demokrasi tidak
cocok lagi di Indonesia? Atau, apakah sistem demokrasinya sudah bagus,
tapi prakteknya saja yang tidak bagus?" kata moderator Prof Dr Qasim
Mathar seraya mempersilakan para peserta bergiliran menyampaikan
tanggapannya.
Pemaparan
kedua panelis tersebut mendapat tanggapan yang beragam dari peserta
yang juga profesor. Ada yang mendukung, ada juga yang tidak setuju.
Prof
Dr Hasyim Aidid misalnya, mengatakan demokrasi di Indonesia sebenarnya
masih bisa diperbaiki jika syarat-syarat demokrasi itu dijalankan dengan
baik. Prof Dr Rasyid A berpandangan, Indonesia memang masih membutuhkan
waktu untuk mencari identitas demokrasinya. Tanggapan Prof Dr Zainuddin
Taha agak berbeda. Dia mengatakan, Indonesia seharusnya tidak perlu
belajar demokrasi jauh-jauh. Menurut di, demokrasi masjid sebenarnya
bisa menjadi teladan yang baik.
"Kita
sebenarnya punya demokrasi masjid yang sangat ideal. Dia sangat
transparan (secara ekonomi), pemilihannya imamnya punya aturan yang
jelas, dan para jamaah begitu sopan kepada imam," katanya.
Di
akhir diskusi tersebut, Prof Anwar mengatakan sistem demokrasi yang
cocok haruslah berlandaskan sejarah dan budaya Indonesia sendiri. Dia
menganggap sila keempat Pancasila adalah landasan pokok demokrasi yang
sangat ideal bagi negeri ini.
Sedangkan
Prof Armin merasa Indonesia yang rakyatnya masih miskin, seharusnya
dipimpin oleh orang yang kuat namun bijaksana. "Seperti orang tua yang
keras kepada anaknya, namun hal itu dia lakukan semata-mata untuk
kebaikan sang anak," kata Prof Armin.
Hanya
saja, sosok pemimpin yang kuat namun bijaksana tersebut sulit
ditemukan. Yang ada, orang yang kuat selalu menindas yang lemah.
Sumber : Klik Disini