Ketika ramadhan bersua, maka boleh jadi semua muslim di dunia
menyambutnya dengan gembira. Karena bulan ini bukan saja bulan di mana
segala amal ibadah menjadi dilipat gandakan balasannya (baca: pahala),
meskipun bagi saya yang terpenting bukan pahalanya, tapi bulan di mana
setiap muslim tak peduli status sosialnya harus sama-sama menjalankan
dengan khusyuk dan menahan diri dari segala perbuatan-perbuatan tercela,
karena seperti kata ustadz-ustadz yang pernah saya dengar ceramahnya
mengatakan bahwa puasa termasuk puasa ramadhan harus menjadi perisai
agar yang melaksanakan boleh terlepas dan terlindungi dari segala
maksud-maksud perbuatan tak terpuji, sehingga mampu mencapai predikat
taqwa sebagaimana target dari perintah ibadah puasa itu sendiri.
Saking meriahnya sambutan terhadap bulan ini, maka geliatnya terasa
bahkan seminggu sebelum puasa berjalan. Mulai dari stasiun TV yang
beralih acara agak islami-islami dikit, masjid-masjid yang dibenahi agar
tampak indah dan sedap dipandang, karena maklum pada bulan ini masjid
dipastikan bakalan penuh, meskipun cuma dalam hitungan beberapa minggu
saja, pedagang di pasar-pasar yang kebanjiran pembeli, pasar juadah yang
bermunculan, sampai percetakan yang kebanjiran orderan spanduk dan
baliho ucapan selamat berpuasa, jadwal imsakiyah dan sebagainya, apalagi
di daerah yang kebetulan bakal melaksanakan pemilihan kepala daerah
pasca puasa nanti.
Karena saya bukan ustadz dan ahli agama, maka dalam tulisan ini saya
tidak mengomentari macam-macam tentang hikmah puasa ramadhan, apalagi
tentang banyaknya keutamaan berpuasa, manfaat berpuasa dan sebagainya,
tapi betul-betul sekedar menulis tentang fenomena sosial yang tampak
saja jika ramadhan tiba.
Semua tampak serba religius ketika ramadhan tiba, karena memang di
bulan ini selain ibadah puasa, maka selalu beriringan dengan intensitas
peningkatan ibadah-ibadah yang lain pula, tentunya dengan maksud dan
tujuan untuk meningkatkan ketaqwaan.
Maka di bulan ini dapat dipastikan angka orang yang membayar zakat
cukup tinggi, orang yang berubah dermawan kemudian beramal memberi makan
kaum fakir-miskin juga tinggi, acara pengajian tadarusan bersama juga
naik drastis. Karena seperti kata ustadz bahwa fungsi puasa juga bukan
sekedar menahan haus dan lapar, sebab dengan haus dan lapar itulah
seharusnya mengingatkan kaum yang jarang merasakan haus dan lapar untuk
ingat kepada kaum yang sering merasakan haus dan lapar.
Sederhananya, bulan ini juga merupakan ajang bagi manusia-manusia
yang kebetulan ‘berpunya’ agar tidak ‘pelit’ harta buat berbagi dan
mempunyai rasa kepedulian terhadap saudaranya yang miskin. Makanya,
seringkali dalam tiap ceramah agama yang sering saya dengar, selalu
terungkap hendaknya puasa boleh jadi menyadarkan orang-orang kaya agar
tersentuh nuraninya, yaaah…untuk lebih giat beramal-lah, sekali-sekali
belajar berzakat, bershadaqah dan berinfaq terlebih-lebih kepada kaum
fakir-miskin dan anak-anak yatim yang berada di sekelilingnya.
Sebagai bulan penempaan diri yang bukan saja mengajarkan ibadah
ritual tapi juga ibadah sosial, maka seharusnya di bulan ini jangan
dijadikan ajang pamer kemewahan dan parade kesombongan. Kenapa saya
katakan demikian, karena terkadang saking salah kaprahnya menyambut dan
menjalani puasa ramadhan sampai menyambut idul fitri nanti, maka ada
sebagian manusia-manusia “berada” tersebut, malah melakukan agenda pamer
kemewahan dan parade kesombongan itu.
Seperti mengunjungi dengan niatan menyantuni orang fakir-miskin dan
anak yatim, tapi dengan berpakaian yang bermewah-mewahan dan berlebihan,
kalau perlu semua perhiasan digunakan, semua pakaian necis dipakai,
trus makan sahur dan berbuka dengan mubazir, nanti menjelang idul fitri
pesta belanja dan sebagainya.
Selanjutnya kegiatan-kegiatan penyantunan itu cuma sekadar
mempertontonkan simbol-simbol relijiusitas agar semata-mata dibilang
“dermawan” di mata manusia, yaah seperti jika membantu orang miskin dan
anak yatim piatu mesti diliput televisi dan media massa, seakan-akan
udah paling shaleh sendiri. Banyak fenomena seperti ini yang tampak
berjubel selama ramadhan, trus pasca ramadhan, semua itu lenyap tak
berbekas seperti melukis di atas air.
Inilah beda antara puasa “sebagian kaum kaya borjuis” dengan puasa
kaum miskin, kalau puasa “sebagian kaum kaya borjuis,” biasanya bekas
dan betahnya cuma sebulan, trus selama sebulan itu dijadikan ajang unjuk
gigi pamer segala kekayaan itu. Artinya, ternyata puasa itu sudah
berubah dan turun status menjadi simbol kemapanan ekonomi belaka. Haus
dan laparnya tak menyisakan pembelajaran apa-apa selain haus dan lapar
selama sebulan itu.
Kemudian kalau kaum miskin, pada ramadhan ini, terkadang belum tentu
juga dapat berpuasa full, karena biasanya mereka harus membanting tenaga
jauh lebih keras dan mungkin menganggap dari ramadhan ke ramadhan
adalah sesuatu yang biasa saja dan sudah sering mereka hadapi, karena
yaa…haus dan laparnya hampir sama saja tiap hari, yang beda mungkin
banyaknya orang memberi sedekah, itu saja! Dan…pasca idul fitri nanti
yaaa haus dan lapaaar lagi, bahkan mungkin lebih parah haus dan
laparnya!
Meskipun sudah berkali-kali diungkapkan, bahwa secara makna berpuasa
mestinya menyadarkan kita akan rasa haus dan lapar yang justru tiap hari
dialami kalangan fakir miskin, dan sebenarnya pada bulan ini adalah
ajang melatih diri untuk menjalani apa yang sama dirasakan kaum
fakir-miskin yang serba kekurangan, serta untuk mengembangkan sikap
empati dan simpati terhadap derita rakyat miskin. Tapi faktanya tidak
demikian memang.
So…alangkah menjadi lebih menarik seandainya semua elemen masyarakat
termasuk pemerintah mendiskusikan bagaimana caranya mengkampanyekan agar
momentum ramadhan dapat menjadi starting upaya memberdayakan kaum
fakir-miskin yang termarjinalkan.
Karena kaum fakir-miskin hadir bukan semata-mata karena takdir, tapi
karena ternyata kekuasaan, kebijakan dan kekuasaan modal yang justru
semakin memiskinkan, melanggengkan kemiskinan, tidak memberikan akses
yang membebaskan dan tidak memihak kepada kaum miskin.
Untuk menghayati penderitaan mereka itulah kita puasa.
Bagaimana kerontangnya kerongkongan tanpa disentuh air saat mendorong
gerobak sampah pemulung di panas terik. Bagaimana lemahnya tubuh disaat
tak dapat sepotong makanan pun sepanjang hari. Dan bisakah hati tidak
megeluh akan semua itu? Bisakah mulut tidak rewel dan cerewet menjalani
semua itu?
gerobak sampah pemulung di panas terik. Bagaimana lemahnya tubuh disaat
tak dapat sepotong makanan pun sepanjang hari. Dan bisakah hati tidak
megeluh akan semua itu? Bisakah mulut tidak rewel dan cerewet menjalani
semua itu?
Bagaimana jika hal itu berlangsung lama?
Bagaimana jika waktu berbuka itu tidak ada? Yang biasanya sudah ditunggu
hidangan makanan indah bak buah-buahan dalam bayangan sorga? Bagaimana
jika ibadah puasa itu tanpa sahur? Yang tujuannya jelas-jelas
dipersiapkan sebagai energi cadangan untuk menjalani puasa di siang
hari? Lalu saat berbuka akhirnya juga dibayar sekian kali lipat?
hidangan makanan indah bak buah-buahan dalam bayangan sorga? Bagaimana
jika ibadah puasa itu tanpa sahur? Yang tujuannya jelas-jelas
dipersiapkan sebagai energi cadangan untuk menjalani puasa di siang
hari? Lalu saat berbuka akhirnya juga dibayar sekian kali lipat?
Lalu kenapa saya, anda dan kita semua,
terutama para pengkotbah begitu gencarnya menyeru puasa itu wajib bagi
siapa saja? Termasuk mereka yang miskin papa?
terutama para pengkotbah begitu gencarnya menyeru puasa itu wajib bagi
siapa saja? Termasuk mereka yang miskin papa?
Ya itu kan perintah Tuhan.
Perintah Tuhan?
Apakah Tuhan buta realitas?
Oh … kejam nian Tuhan jika demikian.
Jangan-jangan Tuhan mencibirkan manusia yang mengaku beriman dengan
berkacak pinggang dalam kotbah dan ceramah suci mulia. Tapi para
gelandangan tetap kelaparan dan tidur dalam tumpukan sampah. Sementara
kita kaum beriman menikmati apel, juice saat berbuka puasa. Yang kita
yakini sebagai kemenangan menahan nafsu di siang hari.
berkacak pinggang dalam kotbah dan ceramah suci mulia. Tapi para
gelandangan tetap kelaparan dan tidur dalam tumpukan sampah. Sementara
kita kaum beriman menikmati apel, juice saat berbuka puasa. Yang kita
yakini sebagai kemenangan menahan nafsu di siang hari.
Bisakah kita merasa malu?
Malu bahwa puasa kita hanya omong kosong?
Puasa kita hanya semacam festival menunda selera pacu yang lebih ganas
menjelang waktu berbuka? Puasa manja yang tidak pernah kurang makan?
Puasa yang sudah dipersiapkan dengan makanan sahur agar tidak tumbang di
siang hari? Puasa yang kita elu-elukan secara kroyokan? Puasa yang
ibarat mobil ambulance lewat? Yang memaksa semua mobil lain minggir
karena mau lewat? Puasa yang memaksa dunia harus mengakui bahwa kita
lagi puasa sambil berteriak: “Jangan ganggu saya, saya lagi puasa.
Jangan makan dekat saya!”
menjelang waktu berbuka? Puasa manja yang tidak pernah kurang makan?
Puasa yang sudah dipersiapkan dengan makanan sahur agar tidak tumbang di
siang hari? Puasa yang kita elu-elukan secara kroyokan? Puasa yang
ibarat mobil ambulance lewat? Yang memaksa semua mobil lain minggir
karena mau lewat? Puasa yang memaksa dunia harus mengakui bahwa kita
lagi puasa sambil berteriak: “Jangan ganggu saya, saya lagi puasa.
Jangan makan dekat saya!”
Apakah artinya puasa Ramadhan bagi kaum
miskin papa yang sudah selalu puasa dalam banyak hal? Tidak seperti
kita orang beriman omong kosong yang cuma menahan haus lapar? Yang
dilakukan cuma karena takut ancaman Tuhan dan mengumbar pahala? Dan
lebih-lebih karena takut ancaman sosial karena dinilai sebagai orang
yang tidak bermoral dan tidak beriman?
Sumber
miskin papa yang sudah selalu puasa dalam banyak hal? Tidak seperti
kita orang beriman omong kosong yang cuma menahan haus lapar? Yang
dilakukan cuma karena takut ancaman Tuhan dan mengumbar pahala? Dan
lebih-lebih karena takut ancaman sosial karena dinilai sebagai orang
yang tidak bermoral dan tidak beriman?
Sumber