Masih
segar dalam ingatan kita semua akan keganasan PKI,
walau kita semua tidak bisa menyaksikan secara langsung tragedi berdarah
tersebut setidaknya kita bisa menyaksikan dalam sebuah film
PENGKHIANATAN G 30 S/PKI, ternyata nilai kebenaran sejarah tragedi
september berdarah tersebut masih dipertanyakan, mengapa demikian ini
semua tidak lepas dari kepentingan politik dan permainan para
antek-antek PKI yang masih dengan gagahnya berkeliaran di Republik kita
yang tercinta in, di satu sisi kita diperlihatkan akan keberania TNI
yang dalam hal ini yang lebih di tonjolkan adalah (alm) Soeharto, dimana
beliau adalah tokoh sentral yang menjadi ikon keberanian aparat dalam
menumpas bentuk kejahatan PKI, berikut ini ada beberapa petikan tulisan
yang saya copas dari website yahooco.id dan hidayatullah.com, jika kita
perhatikan dan lalu kita bandingkan ternyata kedua tulisan tersebut
saling bertolak belakang di satu sisi terkesan mendukung kebenaran
sejarah tragedi PENGKHIANATAN G 30 S/PKI, dan disatu sisi kebenaran
sejarah tragedi PENGKHIANATAN G 30 S/PKI itu masih menjadi pertanyaan,
bukan tanpa alasan atau argument tapi hal tersebut dikuatkan dengan
data-data sejarah. berikut kutipannya.
Apa Kabar Film ‘PENGKHIANATAN G 30 S’?
film penghianatan G 30 S PKI Ketika Soeharto masih
menjadi Presiden Republik Indonesia, film PENGKHIANATAN G 30 S/PKI
adalah sebuah film wajib putar di semua stasiun TV tanah air setiap
tanggal 30 September. Film ini sendiri adalah versi resmi pemerintah
Orde Baru yang mengisahkan tentang peristiwa yang terjadi pada malam 30
September dan pagi 1 Oktober 1965 di Jakarta.
Pada malam dan pagi hari itu, terjadi pergolakan politik di
Indonesia yang kemudian berujung pada pergantian rezim pemerintahan,
dari Soekarno ke Soeharto.
Film yang dibesut oleh Arifin C Noer itu dibintangi oleh beberapa
artis terkenal kala itu. Sebut saja Ade Irawan, Amoroso Katamsi, Umar
Kayam, dan Sofia WD. Dan film yang diproduksi tahun 1984 itu
digolongkan dalam film berdurasi panjang dengan total waktu 220 menit
dan dilatarbelakangi musik besutan Embie C Noer.
Sejak film itu diproduksi, Soeharto memerintahkan agar film berjudul
lengkap PENGKHIANATAN G 30 S/PKI itu diputar setiap tanggal 30
September malam sebagai penghormatan pada tujuh jenderal besar yang
tewas saat itu. Dan saat akhirnya Soeharto lengser tahun 1998, film
itupun tak pernah lagi diputar di televisi Indonesia.
Dan memang hingga saat ini, PENGKHIANATAN G 30 S/PKI tak pernah lagi
terlihat diputar di televisi tanah air. Namun, kita masih bisa
menemukannya di YouTube saat search dengan kata kunci ‘pengkhianatan g
30 s/pki.’
Meski begitu, film ini rupanya memberikan kesan yang begitu mendalam
bagi yang pernah menontonnya. Selain karena suasana film yang begitu
tegang, score musik yang mencekam, dan kepiawaian sang sutradara
mengarahkan para pemain untuk menunjukkan ketegasan, kesedihan,
kemarahan, dan kesadisan yang digambarkan di situ.
“Yang berasa serem dr film G30S/PKI itu scoring-nya… Msh kebayang2
smp skrg. Yg tak terlupakan dr film G30S/PKI: scoring, suara burung
p’tanda kematian, “Papiiii…”, close-up bibir hitam, “Darah itu merah,
Jenderal.” tulis Dewi Lestari yang rupanya juga mengingat film ini
dalam akun Twitter miliknya, Kamis (30/09).
Lalu, masih ingatkah Anda akan film ini? (kpl/npy)
1 Oktober Hari Duka Nasional, Bukan Hari Kesaktian Pancasila
Pengamat Komunisme, Kol (Purn) H. Firos Fauzan menilai 1 Oktober sebagai hari “pengkhianatan” Pancasila
Hidayatullah.com– Masyarakat Indonesia
diminta tak terpedaya dengan sejarah, termasuk sejarah istilah Gerakan
30 September karena peristiwa sebenarnya terjadi pada 1 Oktober 1965.
Pernyataan ini disampaikan pemerhati sejarah dan anggota Gerakan
Nasional Patriot Indonesia, Kol (Purn) H. Firos Fauzan kepada hidayatullah.com, Kamis (30/9) di sela-sela konferensi pers MUI di Jakarta.
Menurutnya, penyebutan peristiwa coup PKI sebagai G-30-S merupakan
“jebakan” dan penggelapan sejarah yang sebenarnya, karena dari beberapa
pengakuan saksi sejarah peristiwa tersebut terjadi pada 1 Oktober
1965.
“Istilah G-30-S itu permainan dialektika Komunis untuk memanipulasi
kebenaran sejarah, Pak Nasution di bukunya mengatakan peristiwa
tersebut jam 4.00 wib dini hari 1 Oktober 1965, begitu juga Bung Karno
menamai dengan Gestok,” ungkap Firos.
Menurut Firos Fauzan, dengan menggunakan istilah G-30-S masyarakat
hanya akan mengingat peristiwa penculikan jenderal dan gerakan militer
di Jakarta, sehingga tidak menganggap peristiwa itu sebagai Kudeta
yang dilakukan oleh PKI, sebagaimana Partai Palu Arit tersebut
melakukan coup dengan menculik para jenderal dan aksi di daerah-daerah
dengan Dewan Revolusi-nya.
Ia juga mengatakan, 1 Oktober seharusnya diperingati sebagai “Hari
Duka Nasional”, bukan sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”, karena pada 1
Oktober 1965 massa aksi masih melakukan penuntutan pembubaran terhadap
PKI.
“1 Oktober itu pengkhianatan Pancasila, bukan kesaktian Pancasila.
Apa kita mau ikut-ikutan China yang merayakan 1 Oktober sebagai Hari
Kemenangan? hati-hati, ini permainan dialektika manipulasi sejarah,”
paparnya.
“Kan kita tahu tanggal 1 Oktober ’65 PKI belum bubar, bahkan sampai 1
Januari 1966 Tritura masih menuntut pembubaran PKI. Pada saat itu
Pancasila tidak mampu membubarkan PKI,” tambahnya.
Menurutnya kembali, Komunis sangat senang bermain dialektika
sejarah, sehingga menempatkan tema peristiwa berbeda dengan konteks
peristiwa sebenarnya yang akan menyebabkan kekaburan sejarah.
“Mereka (Komunis, red) memang senang main thesa-antithesa. Kalau
temanya tidak sesuai dengan peristiwa sejarah sebenarnya, nanti bisa
timbul keraguan bagi generasi selanjutnya yang tidak tahu sejarah
sebenarnya. Itu yang diharapkan mereka,” tegas Firos yang juga
merupakan pengamat Komunisme ini.
Lebih jauh, ia mengatakan, jika bangsa Indonesia menyebut 1 Oktober
sebagai “Hari Kesaktian Pancasila” dengan menaikkan bendera satu tiang
penuh, itu sama saja Indonesia telah berkiblat ke RRC yang merayakan 1
Oktober sebagai “Hari Kemenangan Revolusi Rakyat.”
“Ini memang ada kesengajaan sistematis, “ ujarnya menutup pembicaraan.