Selasa, 04 Oktober 2011

Kisah Ekslusif : Heldy Cinta Terakhir Bung Karno

 

Heldy Djafar Sejak Dalam Kandungan Diramal Dapat Orang Besar (1)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TAK banyak yang tahu kalau Presiden RI I Soekarno, ternyata pernah menikahi Heldy Djafar, seorang gadis asli Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pernikahan secara Islam diadakan di Wisma Negara, 11 Juni 1966. Saksinya Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri.
Saat Soekarno dikucilkan di Wisma Yaso, Heldy, lalu menikah dengan pria lain. Pria itu bernama Gusti Suriansyah Noor, keturunan dari Kerajaan Banjar. Belakangan, satu dari enam orang anaknya, menikah dengan cucu Presiden RI Soeharto. Bagaimana kisahnya? Mulai hari ini, Tribun Kaltim akan membedah buku berjudul: 'Heldy Cinta Terakhir Bung Karno' yang dtulis Ully Hermono dan Peter Kasenda. Buku ini diluncurkan oleh Penerbit Buku Kompas.
HELDY lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tangggal 10 Agustus 1947  dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara.
Ketika Hj Hamiah mengandung Heldy, wanita itu sempat melihat bulan bulat seutuhnya (bulan purnama). Lalu seorang rekan H Djafar yang sedang bertandang ke rumahnya (seorang Tionghoa) mengatakan, "Nanti bayimu lahir harus dijaga hati-hati ya, sampai beranjak dewasa," begitu pesannya.
Saat Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante yang dianggap pandai meramal dan biasa disapa Mbok Nong mengatakan, "Wah anakmu ini kelak jika dewasa akan mendapatkan orang besar."
Mendapat penjelasan itu, Hj Hamiah balik bertanya. "Orang besar itu maksudnya apa?"
"Ya bertitellah seperti insinyur, dokter. Jadi tolong dijaga hati-hati ya."
Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua menyebut, orangtua mereka cukup terpandang di daerahnya. Rumah orang tua Heldy adalah rumah panggung. Bangunannya memanjang ke samping mencapai 30 meter dan memanjang ke belakang 40 meter. Terbuat dari kayu pilihan dengan plafon rumah setinggi empat meter dan memiliki jendela yang berukuran panjang ke bawah dengan kisi-kisi kayu, lalu berlapis kaca pada bagian luarnya.
Jumlah jendelanya pun cukup banyak. Di atas pintu masuk depan rumah tertulis tahun dibangunnya rumah tersebut, tahun 1938.
"Bapak seorang aanemer (pemborong). Kami hidup serba kecukupan. Bapak termasuk orang terpandang dan dihormati di desa kami," kenang Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua. (Bersambung)

Heldy Kecil Kepincut Lihat Soekarno (2)

Kakak kandung Heldy, bernama Yus, tak mau ketinggalan. Ia ikut memunggut lembaran kertas itu. Sambil berdiri di balik pagar rumahnya, Jalan Mangkurawang, Tenggarong, bocah itu sempat bertanya kepada kakaknya. "Ada apa Kak ke Samarinda?" "Bapak Presiden mau pidato di sana, saya mau mendengarkan langsung di alun-alun Samarinda," kata Yus.
Mendengar penjelasan dari kakaknya, Heldy mulai merengek. "Aku mau ikut dengarkan pidato Presiden. Aku juga mau lihat langsung wajah Bapak Presiden."
"Tidak usahlah, kau masih anak-anak, kau mengerti apalah, sudah masuk rumah," pinta Yus.
Setelah mengajak adiknya masuk ke dalam rumah, Yus, bergegas lari, mengejar rombongan manusia yang hendak pergi ke Samarinda.
Heldy lalu masuk ke kamar ibunya Hj Hamiah. Seketika itu juga ia menangis. "Mau lihat Presiden... mau lihat Presiden..." rengeknya.
Mendengar tangis anaknya, sang ibunya malah geram. Gadis kecil itu dicubitnya. "Kayak nenek moyangnya aja yang datang. Tidak boleh ikut, nanti kegencet orang banyak, kamu anak kecil memang tahu apa tentang pidato Presiden. Saudara juga bukan. Sudahlah diam, dan sudahlah cukup dengarkan pidato Presiden lewat radio. Duduklah!"
Maklum, namanya saja anak kecil. Walau sudah diberitahu, Heldy masih saja tetap merengek. Ia masih saja menangis hingga sore hari.
Keinginan Heldy untuk melihat dari dekat pidati Presiden Soekarno itu, mungkin terpicu dengan gambar-gambar Bung Karno dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding yang terpajang di rumahnya.
"Di rumah kami, gambar Bung Karno ada dimana-mana. Dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding. Maklum saja, saat itu Bung Karno adalah presiden kebanggaan seluruh rakyat Indonesia," kenang Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua. (Bersambung)

Awal Pertemuan, Soekarno Sudah Tergoda Kecantikan Heldy (3)


WAKTU terus berjalan. Heldy beranjak menjadi remaja yang menarik perhatian rekan-rekannya. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP yang letaknya di Gunung Pedidi, Jalan Rondong, Demang Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Saat ia duduk di bangku SMP kelas tiga, Heldy pindah sekolah ke sebuah SMP di Samarinda. Kepindahan Heldy dilakukan karena adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Implikasinya, H Djafar, ayah Heldy untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Oost Borneo Maatschapppij.
Setelah tamat dari SMP, Heldy hijrah ke Jakarta menyusul kakaknya untuk mencari ilmu. Cita-cita nya menjadi seorang desainer interior.
Kendati jarak antara Samarinda-Jakarta lumayan jauh, namun Heldy tak pernah surut untuk melangkahkan kakinya meraih asa.
Dari Samarinda, ia menumpang kapal menuju Balikpapan. Selanjutnya ia naik kapal laut Naira dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, menuju ke Surabaya ditemani familinya, Milot dan Izhar iparnya.
Selanjutnya dari Surabaya mereka menumpang kereta api menuju Jakarta dan berhenti di Stasiun Gambir. Saat kakinya kali pertama menyentuh Jakarta, Heldy merasa bangga. Apalagi pada tahun 1963, jalanan di Jakarta sudah beraspal, jembatan Semanggi yang lebar dan membentuk lengkungan menarik, rumah dan gedung terbuat dari beton dan rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di tepi jalan.
Di kota metropolitan, Heldy tinggal di rumah kakaknya Erham, di Jalan Ciawi III nomer 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Erham sendiri bekerja di sebuah perusahaan bank dan sudah  memiliki tiga orang anak.
Sementara Yus, kakak Heldy, waktu itu masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia memilih tinggal di asrama Kalimantan, Jalan Cimahi 16, Menteng, Jakarta Pusat.
Yus dikenal sebagai aktivis organisasi. Ketika masih kuliah ia sudah didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Pemuda Kalimantan Timur.
Seminggu berada di Jakarta, Heldy diajak Yus main-main ke asrama. Di sana ada pemuda bernama Adji, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kehadiran Heldy menarik perhatian Adji.
"Siapa gadis itu?" "Oo... ini adikku, Heldy. Dia baru datang dari Kutai," jawab Yus.
"Untuk saya saja adikmu," tutur Adjie. Selanjutnya, Heldy dikenalkan kepada Adjie oleh Yus. Sejak itu, kendati usianya terpaut lima tahun, keduanya saling mengunjungi.
Di JAKARTA Heldy masuk ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA). Sekarang sekolah itu diubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK).
Letak sekolahnya di daerah Pasar Baru. Di sekolah ini, sejumlah gadis dari daerah, menimba ilmu tentang dunia masak-memasak dan mengurus rumah tangga.
Sejak sekolah di tempat itu, setiap hari Heldy naik bus menuju ke sekolahnya. Kadang ia dijemput oleh rekannya bernama Sri.
Di sekolahnya khusus buat murid yang beragama Islam, diadakan pencarian bakat siapa yang mahir membaca Al Qur'an. Kepala sekolah memberikan pengumuman kepada para murid yang bisa membaca Al Qur'an disarankan ke kantor kepala sekolah untuk dites.
Dari sekian banyak murid dipilihlah Heldy. Mengapa? Sejak kecil ia sudah khatam membaca Al Qur'an. Kepandaiannya membaca Al Qur'an membuat Heldy makin dikenal di sekolahnya.
Suatu hari Heldy diundang sebagai qoriah dalam acara peringatan Nuzulul Qur'an di asrama mahasiswa Universitas Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Heldy diundang oleh guru kimianya yang waktu itu juga tercatat sebagai mahasiswa kedokteran UI. Namanya Zulkifli TS Tjaniago (kini menjadi dokter spesialis kandungan).
Sejak saat itu Heldy tak hanya dikenal di sekolahnya saja. Para mahasiswa banyak yang mengenal namanya. Bahkan, ia pernah dipilih menjadi cover majalah Pantjawarna. Di cover tersebut, Heldy memakai busana khas Tenggarong, lengkap dengan sanggul cepol di atas dan tusuk kembang goyang.
                   
Lalu bagaimana ceritanya Heldy bisa masuk ke lingkungan Istana Kepresidenan? Adalah Yus, sang kakak yang waktu itu kuliah di UI. Saat itu Yus dipercaya oleh protokol kepresidenan untuk menyiapkan barisan Bhineka Tunggal Ika ke Istana. Biasanya, ia mencari remaja putri dan putra yang layak untuk menjadi bagian dari barisan itu.
Dipilihlah Heldy, adiknya, sebagai wakil dari Kalimantan. Begitu juga sepupu dan keponakannya. Semuanya ikut menjadi barisan Bhineka Tunggal Ika. Dan sudah menjadi tradisi bagi Istana, setiap kali mengadakan kegiatan, tim protokol membutuhkan pagar ayu, pagar bagus yang terdiri dari para remaja lengkap dengan pakaian daerah seluruh Indonesia.
Biasanya diambil dari perhimpunan remaja daerah yang tinggal di Jakarta. Bung Karno sangat menyenangi keindahan dan peduli dengan kekayaan budaya Indonesia yang begitu beragam.
Suatu hari pada tahun 1964, Istana sedang sibuk menyiapkan penyambutan tim Piala Thomas. Untuk itu dibutuhkan barisan Bhineka Tunggal Ika, sebagai penerima tamu. Heldy dipilih untuk ikut serta. Ia mengenakan kebaya warna pink dengan kain lereng berselendang dan memakai sanggul.
Tibalah hari H. Heldy bersama remaja lainnya siap berdiri secara teratur di anak tangga Istana, berbaris rapi dekat pintu masuk.
Seperti biasa, Presiden Soekarno menaiki anak tangga Istana melalui barisan Bhineka Tunggal Ika yang sudah rapi berbaris dan berdiri di setiap anak tangga.

Bung Karno menaiki anak tangga satu persatu sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Tepat saat mendekati barisan di belakang Heldy, ia menyapa dengan caranya yang khas.
"Darimana asal kamu?" "Dari Kalimantan Pak." "Oh... aku kira dari Sunda. Oh... ada orang Kalimantan cantik." Itulah awal pertama percakapan Heldy dengan Bung Karno. (Bersambung)

Soekarno Dekati Heldy Saat Usia Baru 18 Tahun (4)

SEJAK kali pertama bertemu, Presiden Soekarno rupanya mulai terpikat dengan Heldy. Saat berada di Istana, tokoh proklamator itu tak segan-segan mengajukan pertanyaan kepada sang gadis. Apa isi dialognya? GERAK-gerik Presiden RI I Soekarno saat berdialog dengan Heldy, gadis asal Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, rupanya diamati oleh Yus --kakak kandung Heldy.
Seorang bagian protokol kepresidenan mendekati Yus. "Adikmu tadi mendapat perhatian khusus dari Presiden. Lihat adikmu diajak bicara Presiden. Artinya, adikmu mendapat perhatian. Baik-baik dijaga," pesannya. Mendengar nasehat itu, Yus sendiri tidak tahu makna dari kata dijaga.
Pengalaman pertama menjadi anggota barisan Bhineka Tunggal Ika, membuat Heldy senang. Apalagi, ia sempat diajak ngobrol Bung Karno. Selanjutnya, pertemuan antara Heldy dengan Bung Karno terjadi, ketika kepala sekolahnya, memanggil Heldy --Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA). Sekarang sekolah itu diubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK).
Tak hanya Heldy. Beberapa murid lainnya juga dipanggil dan diajak ke Istana Bogor untuk masuk ke dalam barisan Bhineka Tunggal Ika. Mereka berangkat menumpang bus khusus. Sesampainya di Istana Bogor, mereka diminta berdandan. semua sudah disediakan, mulai dari pakaian kebaya, kain, cemara untuk sanggul hingga selop sepatu. Sang periasnya adalah Maryati, penyanyi keroncong.
Saat barisan Bhineka Tunggal Ika sudah berdandan, para pagar ayu diminta berbaris dan menempati posisinya masing-masing untuk siap-siap menerima tamu. Saat itu Heldy memilih berdiri di pojok, takut dilihat Bung karno. Apalagi ketika itu, kebayanya kelihatan kedodoran dan sanggulnya terasa ogleg.
Nah, ketika Presiden Soekarno memasuki ruangan untuk melihat barisan Bhineka Tunggal Ika, matanya mendadak menatap Heldy. Melalui ajudannya, Heldy lalu dipanggil Soekarno. Kakinya bergetar, hatinya berdebar.
Soekarno kemudian menegurnya. "Sanggulmu salah, bukan begini. Juga kebaya dan kainmu. Siapa yang mendadanimu?" "Ibu Maryati Pak."
              
Setelah itu, pertemuan antara Soekarno dengan Heldy terjadi kembali, saat anggota barisan Bhineka Tunggal Ika diwajibkan menyanyi di depan presiden, satu persatu. Dari sekian anggota, Heldy mendapat urutan nomor satu untuk menyanyi.
Ia pun tarik olah vokal, menyanyikan lagu asal Kalimantan. Usai menyanyikan lagu berjudul 'Bajiku Batang (padi), Bung Karno meminta Heldy untuk menyanyikannya sekali lagi.
Pertemuan selanjutnya terjadi saat Yus -kakak kandung Heldy-- meminta ke Istana untuk menjadi pagar ayu kembali.
Saat Bung Karno masuk ruangan, kedua matanya menyapu semua sudut ruangan. Lalu, Bung  Karno memperhatikan Heldy yang ketika itu mengenakan kebaya warna hijau. Lalu dipanggilah Heldy.
Lagi-lagi gadis itu dengkulnya gemetaran. Ia berjalan perlahan menghampiri Bung Karno.
Setelah mendekat, Bung Karno dengan suaranya yang khas bertanya. "Kemana saja kau? Sudah lama tidak kelihatan?" "Sakit Pak," jawab Heldy.
"Bohong, kau pacaran. Saya lihat kau di Metropole (sekarang Megaria) sedang menonton film." "Tidak Pak..."
Kemudian Soekarno mengutarakan niatnya. "Nanti kalau lenso sama aku ya, sini kau duduk dekat aku."
Karuan saja, hati Heldy berkecamuk, antara takut, senang dan gemetar. Ia takut melakukan kesalahan saat lenso dengan presiden. Untungnya, selama di Jakarta, ia pernah diajari menari lenso oleh kakaknya. Malam itu, tamu negara yang hadir diantaranya ada Titiek Puspa, Rita Zahara dan Feti Fatimah.
                
Heldy lalu duduk di kursi yang letaknya persis di belakang presiden. Selama ini siapapun yang dipilih Bung Karno untuk menari lenso, selalu duduk di dekatnya. Saat berlenso dimulai. Bung Karno mulai mengajak Heldy. Gadis itu diam membisu tak berani menatap wajah sang presiden. Bung Karno lalu berbisik. "Siapa namamu?" "Heldy..." "Boleh aku datang ke rumahmu? Sekolahmu?" "Kelas dua SKKA."
Dialog terus berlangsung. Bung Karno semakin gencar mengajukan pertanyaan. "Berapa umurmu?" "Delapan belas tahun." "Hmmmm... cukup," kata Bung Karno. Heldy sendiri mengaku tidak pernah tahu apa arti dari ungkapan Bung Karno yang mengatakan cukup.
Keduanya terus berlenso diikuti irama musik dan nyanyian dari para tamu yang dilantunkan secara serentak penuh hentak. Syairnya kira-kira begini: 'Baju hijau siapa yang punya, baju hijau siapa yang punya, baju hijau siapa yang punya, baju hijau bapak yang punya'
Lagu itu berulang-ulang dinyanyikan hingga tepukan tangan membahana di seantero ruangan.
Esoknya, Heldy mulai merasa tidak nyaman saat bersekolah. Ia merasa ada yang mengawasinya. Bahkan, ia merasa tak sebebas dulu saat berteman dengan teman-temannya di sekolah.
Bahkan, Zulkifli, teman Heldy yang kerap bertandang ke rumah Heldy, tak lagi berani mendekat.Apalagi, beberapa bulan setelah itu, Zulkifli pernah melihat Heldy pergi ke dokter THT dikawal orang Istana. Penampilannya tetap sederhana, namun auranya begitu memancar. (Bersambung)

Apel Pertama, Heldy Tolak Cinta Soekarno (5)

12 MEI 1965. Rumah Erham --kakak kandung Heldy-- di Jalan Ciawi III nomer 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mendadak menjadi perhatian 'orang-orang' Istana Kepresidenan. Seorang diantara mereka masuk ke dalam rumah untuk menyampaikan kabar penting. Kabarnya cukup mengejutkan. Sang Presiden RI, Soekarno, akan datang ke rumah itu sebentar lagi.

"Tolong jika bapak datang, lampu teras dimatikan. Juga lampu dalam ruang tamu." Begitu isi pesan utusan Istana kepada sang pemilik rumah.

Erham, sontak terkejut. Pembesar negara akan datang ke rumahnya untuk menemui Heldy, adik kandungnya. "Kenapa kamu tidak katakan sebelumnya bahwa Presiden akan datang?" tanya Erham kepada Heldy.
Mendengar pertanyaan itu, Heldy lalu menjawab. "Mana saya tahu kalau Presiden serius akan datang ke rumah."
Tak lama kemudian, sebuah mobil VW kodok warna coklat gelap yang dikemudikan Soeparto, berhenti di depan rumah, diiringi dua mobil lainnya. Sang Presiden terlihat turun dari dalam mobil. Inilah kali pertama Soekarno 'apel' di rumah Heldy, gadis yang pernah diajak menari lenso di Istana.
Langkah Soekarno menuju teras rumah Heldy disaksikan pohon kamboja yang saat itu sedang berbunga dan berwarna pink. Lampu teras pun sudah dimatikan, sesuai pesan orang Istana.
Kehadiran Bung Karno, diterima Yus --kakak Heldy yang mendapat tugas untuk menerima tamu. Selanjutnya keduanya masuk ke ruang tamu. Suasana ruang tamu terasa hening. Hanya ada lampu lima watt yang masih menyala di sudut ruangan.
Kali ini Bung Karno tampil agak beda. Tanpa mengenakan peci, sehingga dahinya yang besar dan botaknya kelihatan. Walau begitu, Bung Karno yang berpostur tinggi besar, dengan wajah terawat dan penuh kharisma, mengenakan celana panjang warna hitam, kemeja warna putih lengan pendek dengan kancing bagian atasnya terbuka serta memakai sandal.
Sesaat kemudian, Erham menyalami Bung Karno. Begitu juga H Djafar, ayah kandung Heldy yang kebetulan waktu itu sedang berada di Jakarta.
"Assalamualaikum Pak Haji. Kapan datang dari Kalimantan?" tanya Bung Karno kepada Djafar. Usai menjawab salam Bung Karno dan berjabat tangan, Djafar lalu berbalik arah masuk ke dalam kamar.
Entah mengapa? Kini hanya Erham dan Yus yang menemani Bung Karno. Tak lama kemudian heldy ikut bergabung menemui tamu terhormat. Rupanya, maksud kedatangan Bung Karno ke rumah Heldy, hanya untuk mengutarakan isi hatinya. Ia mengatakan rasa cintanya pada gadis asal Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan  Timur.
Saat Bung Karno menyatakan cintanya, Heldy berusaha menolaknya dengan halus dengan pertimbangan bahwa usianya masih muda. Bahkan, Heldy menawarkan kepada Bung Karno agar mencari wanita lain.
Mendengar ucapan Heldy, Bung Karno tidak kesal, apalagi marah. Ia hanya tersenyum, lalu memberikan hadiah yang tersimpan di dalam box. Setelah dibuka, ternyata isinya jam tangan merk Rolex.
Seketika itu juga Heldy mencium tangan presiden. Setelah itu ia pamit ke belakang membuatkan secangkir teh buat sang Presiden. Saat secangkir teh itu disajikan, Bung Karno mengaduknya dengan sendok kecil. "Siapa yang membuat minuman teh?" tanyanya. "Saya sendiri Pak." "Hmm... enak dan pas rasanya. Pintar kamu membuat minuman teh."
Usai menyeruput teh, Bung Karno lalu mengajak Heldy keluar rumah. Tujuannya untuk mencari makan. Heldy satu mobil dengan Bung Karno. Mobil itu dikemudikan Darsono. Sedangkan ajudan presiden, Kol Parto, duduk di sebelahnya. Sementara Erham, kakak kandung Heldy, ikut bersama mobil lainnya.
Nah, dalam perjalanan itulah, Bung Karno lagi-lagi mengeluarkan 'jurusnya'. "Dik, kau tahu... Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari kau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita."
Heldy terdiam. Ia hanya mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Bung karno. Betapa tidak, ketika itu usia Heldy baru 18 tahun, sedangkan Bung Karno 64 tahun. Beda 47 tahun.
Lagi-lagi Heldy belum memberikan jawaban kepada sang pria yang lagi kasmaran. (Bersambung)

Jadi Kekasih Soekarno, Heldy Tampil Beda (6)

Sejak pernyataan cinta diutarakan, Bung Karno makin rajin datang ke rumah Heldy. Setiap kali apel, Bung Karno selalu memberi amplop berisi uang yang tidak sedikit. Kebiasan Bung Karno membagi-bagikan uangnya tak hanya ditujukan kepada Heldy saja. Ibu kandung Heldy, Hj Hamiah bila sedang berada di Jakarta, juga kecipratan rezeki. Bahkan, Bung Karno tak segan-segan mencium tangan Hj Hamiah jika keduanya bertemu di Jakarta.
Selain uang, Bung Karno kerap membawakan minyak wangi, satu set perhiasan serba berkilau bermata berlian hingga lembaran kain batik pilihan terbaik dan lukisan. Tak hanya itu saja. Heldy sempat diberi mobil Holden Premier warna biru telur asin untuk kegiatan sehari-hari.
Jika sedang apel dan Heldy tak ada di rumah, maka Bung Karno biasanya menunggu kekasihnya itu di sofa sambil tiduran. Kadangkala, Bung Karno tak segan-segan mengajak Djohan, kakak Heldy yang masih duduk di bangku SMA kelas 3, bermain panco di atas meja makan.
Setelah Bung Karno kalah dalam permainan, Djohan tak segan-segan membikinkan minuman buat Bung Karno. Minumannya sederhana, segelas teh, plus gula lalu ditambah es batu. "Good, bagus. Enak minuman ini."
                 
Menjadi kekasih seorang presiden, membuat Heldy semakin ribet. Mau tidak mau, penampilan Heldy harus berubah. Setiap kali berangkat ke sekolah, Heldy menghias pergelangan tangannya dengan jam Rolex dan harum minyak wangi.
Di luar kelas, orang-orang Istana Kepresiden selalu memantaunya. Penjagaan pun semakin ketat. Sejumlah guru yang tadinya menaksir Heldy, mulai kehilangan nyalinya. Begitu juga dengan Adji, pria yang pernah jatuh hati dengan Heldy, mulai patah hati.
Adjie yang waktu itu masih mahasiswa, tak berani berbuat apa-apa begitu mengetahui sang kekasihnya berpaling kepada Bung Karno. Gara-gara itu, Erham, kakak kandung Heldy memutuskan agar adiknya sekolah di rumah dengan memanggil guru menambah pelajaran bahasa Belanda dan Inggris.
Bukan hanya itu, Heldy pun sering diajak Bung Karno bertemu dengan teman-temannya seperti Dasaad (pengusaha yang sering memberi bantuan finansial), Chaerul Saleh, J leimena dan Soebandrio.
Mereka setiap kali bertemu Bung Karno selalu memakai bahasa Belanda. Karena itu Heldy berinisiatif belajar bahasa Belanda, mendatangkan guru wanita dari Manado. Namanya Nyonya Woworuntu (seorang mantan walikota pertama di Manado. (Bersambung)

Hadiah Soekarno, Dari Mangga Hingga Mobil Mercedes (7)

Bung Karno memang luar biasa dalam memikat wanita. Setiap kali datang ke rumah Heldy, ia tak segan-segan membawa dua buah mangga matang. "Ini mangga hasil kebun Pak Dassad, dikirim untuk aku," kata Bung Karno.

Tanpa disuruh, Heldy bergegas mengambil pisau, lalu mengupasnya kemudian disajikan kepada Bung Karno.  Suatu hari Bung Karno membawa sekeranjang salak. Salaknya enak sekali.
Sejak saat itulah, Heldy resmi menjadi teman dekat Bung Karno. Konsekuensinya, Heldy harus siap dengan peraturan yang dibikin Bung Karno. Dua jam sebelum Bung Karno datang, Heldy sudah menyiapkan kain dan kebaya yang akan dipakai dan sanggul dari cemara panjang, lengkap dengan selop dan hak setinggi tujuh sentimeter.
Heldy pun lalu menunjuk Eka Rosdiana, sepupunya, untuk menjadi sekretaris. Tugasnya menemani Heldy ke Istana.
Agustus 1965, Heldy resmi menjadi wanita yang sedang dicintai Presiden. Bahkan, tiga bulan setelah kedatangan Bung Karno ke rumah di Jalan Ciawi, Heldy diberi hadiah sebuah rumah di Jalan Cibatu 33, Kebayoran Baru. Rumah itu bersertifikat dengan menggunakan namanya sendiri. Luas tanahnya 600 meter persegi, lengkap dengan empat kamar dan satu kamar khusus untuk Bung Karno.
Sedangkan Heldy tinggal bersama bersama Djohan dan Rosdiana. Rumah itu mendapat penjagaan ekstra ketat, lengkap dengan sopir, sekretaris dan mobil buat Heldy.
Menurut ajudan Bung Karno, Zaenal, mobil Holden Premier yang diberi Bung Karno buat Heldy dirasakan sudah tidak layak lagi. "Ibu sudah tidak pantas memakai Holden Premier, sebaiknya ganti admiral saja," tutur Zaenal.
Selanjutnya, oleh Heldy usul dari sang ajudan itu disampaikan kepada Presiden. Sebenarnya, Heldy takut juga untuk menyampaikannya. Tapi ia ingat, Bung Karno pernah menegurnya. "Dik kau tidak cinta aku ya, kok tidak pernah meminta?"
Pada saat itu Heldy hanya menjawab, "Apakah cinta harus sama dengan meminta? Saya sudah banyak diberi macam-macam oleh Bapak? Apa saya harus meminta?"
Nah, gara-gara usul ajudan itulah, maka Bung Karno bereaksi. "Dik kau tidak pantas naik Admiral, sebaiknya Mercedes." Maka keesokan harinya, Mercedes B warna hitam dengan nomer B 1008 --sesuai dengan tanggal lahir Heldy-- sudah ada di Jalan Cibatu. (Habis)

[Sumber]

 

Photobucket
Free Counter
Photobucket