Maria merasa bosan dengan kunjungan para pejabat. Warga
yang tinggal di Nanaeklot, Belu, perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan
Timor Leste itu tahu betapa kunjungan pejabat hanya sia-sia.
Selama 45 tahun, Maria menjalani hidup yang sangat sulit di perbatasan dengan Timor Leste itu. Kepala Sekolah SD Katolik Nanaeklot itu setiap hari harus melewati jalanan yang buruk dan sangat becek ketika hujan datang. Ia harus pasrah terisolasi tak bisa ke mana-mana saat hujan datang. Ia juga harus bergelap-gelap saat malam tiba karena tidak ada listrik di daerahnya.
Awalnya, memang menyenangkan ketika ada pejabat yang datang berkunjung ke perbatasan itu. Warga seolah mendapatkan harapan karena ada yang memperhatikan kesusahan yang mereka alami akibat daerahnya tidak tersentuh pembangunan.
Tak segan, warga pun mengeluhkan kesusahan yang dialami karena berada di daerah tertinggal kepada sang pejabat. Tapi setelah berkali-kali pejabat datang dan pergi, ternyata daerah mereka tetap tidak ada perubahan. Maria dan tentu warga Nanakelot pun menjadi benar-benar kecewa.
"Kenapa bapak-bapak pejabat datang ke sini, merasa prihatin, setelah itu tidak ada perubahan apapun bagi kami," keluh Maria saat ditemui detik+
Kisah sedih Maria juga dialami warga di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia. Infrastruktur di sini juga sangat buruk. Bahkan untuk bersekolah saja, anak-anak harus berjalan kaki menempuh jarak 10-16 Km.
Tinggal di perbatasan ibaratnya memang seperti tidak putus dirundung malang. Dalam kondisi yang serba susah karena kemiskinan, mereka juga masih menjadi korban pemalakan yang dilakukan aparat. Pemalakan ini misalnya menimpa warga Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia.
Warga dua desa yang kini menjadi sorotan itu menjadi korban pemalakan saat akan menjual sarang burung walet ke Malaysia. Padahal mereka tidak punya pilihan lain selain menjual ke Malaysia, karena untuk mencapai pusat kota membutuhkan waktu yang lama. Padahal waktu menjadi musuh sarang burung walet karena semakin lama di perjalan, harga jualnya pun menyusut jauh.
"Kalau ingin lolos, warga harus memberi uang Rp 5 juta kepada petugas jaga,” tutur Akil Mochtar, hakim konstitusi kelahiran Putussibau, Kalbar itu.
Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kalimantan Barat Moses mengakui rendahnya kesejahteraan di wilayah perbatasan karena minimnya upaya pembangunan. Akibatnya kondisi antara Indonesia dengan Malaysia di perbatasan sangat mencolok. Indonesia tampak miskin, sementara Malaysia menjadi negara maju.
"Ini yang dirasakan warga, wilayah tetangga yang walau kondisinya sama tapi merupakan negara maju seperti Malaysia. Apalagi warga perbatasan saling berkomunikasi. Ini akan terus merasakan adanya gap di antara mereka," terang Moses kepada detik+.
Buruk jalan menuju kota, membuat warga di perbatasan yang ekonominya cukup lebih memilih Malaysia untuk berobat. Apalagi rumah sakit setingkat kecamatan di wilayah Malaysia memiliki peralatan yang lebih baik dan tarif pengobatan yang murah.
Dengan gap kemakmuran yang jauh, maka tidak sedikit warga perbatasan membiarkan wilayahnya dicaplok negara asing. Warga Camar Bulan dan Tanjung Datu yang jumlahnya 1.883 warga atau 493 kepala keluarga sebenarnya menyadari wilayahnya dicaplok Malaysia. Mereka tahu Malaysia melakukan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia. "Tapi program ini disambut warga Indonesia di sana sebab selama ini mereka lebih merasa diperhatikan oleh Malaysia," kata Akil Mochtar.
Masalah buruknya kesejahteraan itu juga langsung ataupun tidak telah menggerus rasa nasionalisme warga di perbatasan. Di Belu, perbatasan RI dengan Timor Leste, tidak sedikit warga yang tidak pernah merayakan kemerdekaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya pun mereka tidak hafal.
"Kita miris seperti dalam peringatan HUT RI atau menyanyikan Indonesia Raya pun tidak ada, nggak bisa," ungkap Komandan Kompi I Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste (RI-RDTL) Letnan Satu Rori kepada detik+ saat meliput di wilayah perbatasan Nanaeklot, Kabupaten Belu beberapa waktu lalu. [Detiknews.com]
Selama 45 tahun, Maria menjalani hidup yang sangat sulit di perbatasan dengan Timor Leste itu. Kepala Sekolah SD Katolik Nanaeklot itu setiap hari harus melewati jalanan yang buruk dan sangat becek ketika hujan datang. Ia harus pasrah terisolasi tak bisa ke mana-mana saat hujan datang. Ia juga harus bergelap-gelap saat malam tiba karena tidak ada listrik di daerahnya.
Awalnya, memang menyenangkan ketika ada pejabat yang datang berkunjung ke perbatasan itu. Warga seolah mendapatkan harapan karena ada yang memperhatikan kesusahan yang mereka alami akibat daerahnya tidak tersentuh pembangunan.
Tak segan, warga pun mengeluhkan kesusahan yang dialami karena berada di daerah tertinggal kepada sang pejabat. Tapi setelah berkali-kali pejabat datang dan pergi, ternyata daerah mereka tetap tidak ada perubahan. Maria dan tentu warga Nanakelot pun menjadi benar-benar kecewa.
"Kenapa bapak-bapak pejabat datang ke sini, merasa prihatin, setelah itu tidak ada perubahan apapun bagi kami," keluh Maria saat ditemui detik+
Kisah sedih Maria juga dialami warga di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia. Infrastruktur di sini juga sangat buruk. Bahkan untuk bersekolah saja, anak-anak harus berjalan kaki menempuh jarak 10-16 Km.
Tinggal di perbatasan ibaratnya memang seperti tidak putus dirundung malang. Dalam kondisi yang serba susah karena kemiskinan, mereka juga masih menjadi korban pemalakan yang dilakukan aparat. Pemalakan ini misalnya menimpa warga Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia.
Warga dua desa yang kini menjadi sorotan itu menjadi korban pemalakan saat akan menjual sarang burung walet ke Malaysia. Padahal mereka tidak punya pilihan lain selain menjual ke Malaysia, karena untuk mencapai pusat kota membutuhkan waktu yang lama. Padahal waktu menjadi musuh sarang burung walet karena semakin lama di perjalan, harga jualnya pun menyusut jauh.
"Kalau ingin lolos, warga harus memberi uang Rp 5 juta kepada petugas jaga,” tutur Akil Mochtar, hakim konstitusi kelahiran Putussibau, Kalbar itu.
Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kalimantan Barat Moses mengakui rendahnya kesejahteraan di wilayah perbatasan karena minimnya upaya pembangunan. Akibatnya kondisi antara Indonesia dengan Malaysia di perbatasan sangat mencolok. Indonesia tampak miskin, sementara Malaysia menjadi negara maju.
"Ini yang dirasakan warga, wilayah tetangga yang walau kondisinya sama tapi merupakan negara maju seperti Malaysia. Apalagi warga perbatasan saling berkomunikasi. Ini akan terus merasakan adanya gap di antara mereka," terang Moses kepada detik+.
Buruk jalan menuju kota, membuat warga di perbatasan yang ekonominya cukup lebih memilih Malaysia untuk berobat. Apalagi rumah sakit setingkat kecamatan di wilayah Malaysia memiliki peralatan yang lebih baik dan tarif pengobatan yang murah.
Dengan gap kemakmuran yang jauh, maka tidak sedikit warga perbatasan membiarkan wilayahnya dicaplok negara asing. Warga Camar Bulan dan Tanjung Datu yang jumlahnya 1.883 warga atau 493 kepala keluarga sebenarnya menyadari wilayahnya dicaplok Malaysia. Mereka tahu Malaysia melakukan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia. "Tapi program ini disambut warga Indonesia di sana sebab selama ini mereka lebih merasa diperhatikan oleh Malaysia," kata Akil Mochtar.
Masalah buruknya kesejahteraan itu juga langsung ataupun tidak telah menggerus rasa nasionalisme warga di perbatasan. Di Belu, perbatasan RI dengan Timor Leste, tidak sedikit warga yang tidak pernah merayakan kemerdekaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya pun mereka tidak hafal.
"Kita miris seperti dalam peringatan HUT RI atau menyanyikan Indonesia Raya pun tidak ada, nggak bisa," ungkap Komandan Kompi I Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste (RI-RDTL) Letnan Satu Rori kepada detik+ saat meliput di wilayah perbatasan Nanaeklot, Kabupaten Belu beberapa waktu lalu. [Detiknews.com]