Nasib
peneliti di Indonesia memprihatinkan. Tidak sedikit mereka yang memilih
bekerja menjadi peneliti di luar negeri. Bahkan, sejumlah negara tidak
segan mengincar dan mengiming-imingi peneliti muda Indonesia dengan
berbagai fasilitas, tempat riset yang memadai, dan gaji besar. Intinya
agar peneliti Indonesia mau bekerja di sana. Mengapa peneliti Indonesia
seperti tak dianggap di rumah sendiri?
Usai
menempuh pendidikan di Universitas Leeds, Inggris, peneliti asal
Universitas Indonesia, Yulianto Sulistyo Nugroho mengaku sempat kaget
melihat keadaan transportasi di Indonesia carut marut. Kenyamanan
tinggal di negeri orang, dan kondisi yang berbanding terbalik di negeri
sendiri, kata dia, bisa menjadi salah satu penghambat pulangnya peneliti
asal Indonesia setelah menempuh pendidikan di luar negeri.
“Saya
biasa kalau naek bis itu, naek kendaraan umum itu semuanya sudah
nyaman. Begitu pulang ke Indonesia, nyebrang saja takut. Itu kan satu
contoh. Terus kemudian anak-anaknya sudah besar, dia untuk kembali,
gimana pendidikannya gitu. Itu kan aspek sosial yang lain di luar
konteks kesejahteraan.”
Kondisi
ini, semakin diperparah oleh minimnya perhatian Pemerintah Indonesia
terhadap anak-anak cerdas bangsa, termasuk peneliti. Selain tidak
mendapat fasilitas penelitian yang memadai, gaji peneliti juga bisa
dibilang sangat rendah. Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LIPI, Endang Sukara mengatakan, gaji seorang profesor riset di Indonesia
hanya sebesar Rp. 5 juta per bulan. Sedangkan, jika mereka bekerja di
luar negeri semisal di negara tetanggga Malyasia, peneliti Indonesia
bisa mendapat hampir sepuluh kali lipat.
“Itu
gaji pokoknya kalau 4e sudah mentok di ujung kanan bawah tiga koma,
ditambah tunjangan fungsional peneliti, profesor riset satu koma berapa.
Paling hebat 5 jutaan, 5,2. (Di Malaysia?) Saya kira minimal Rp. 40 an
juta. Tetapi kalau di Amerika dan Australia, itu $10 ribu atau sekitar
Rp.80-90 juta perbulan.”
Pemerintah
mengakui minimnya tingkat kesejahteraan peneliti di Indonesia. Namun,
Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim mengklaim, dengan adanya
Undang-undang Guru dan Dosen, tingkat kesejahteraan peneliti yang
berasal dari perguruan tinggi sudah lebih baik.
“Kalau
yang dosen mungkin tidak banyak. Kalaupun itu terjadi, itu yang sebelum
Undang-undang guru dan dosen diberlakukan. Dengan Undang-undang guru
dan dosen yang sekarang, tingkat kesejahteraan dosen itu sudah memadai.
Kalau mau kaya memang ngga bisa lah, tetapi basicnya cukup. Ada juga
dosen-dosen di Andalas, memang ada dosen kita yang memang pergi sekolah
dan tidak pulang. Saya bilang kepada mereka, Anda bersabarlah. Ngga
mungkin langsung, begitu anda pulang bisa langsung hidup sejahtera.”
Menurut
Rektor Universitas Indonesia, Gumilar Rusliwa Somantri, pemerintah
harus memperbaiki kesejahteraan peneliti, sehingga dapat memberi
kontribusi positif bagi pembangunan di Indonesia.
“Saya kira yang perlu dipahami di sini
adalah kesejahteraan mereka harus diperbaiki dan tugas pemerintahlah
untuk melakukan perbaikan kesejahteraan itu melalui peningkatan anggaran
riset dan diharapkan kita mempunyai anggaran riset sekitar 2-3 persen
dari PDB yang sekarang masih nol koma dan itu masih terlalu kecil”
Pemerintah menjanjikan akan selalu menaikan anggaran riset penelitian yang saat ini hanya sebesar 0,01
persen dari totap produk domestik bruto PDB. Akankah itu terwujud?
Ataukah negeri ini harus terus menyaksikan hasil karya anak bangsa yang
bekerja di luar negeri? [Sumber]